04 : Hancur

273 29 9
                                    

Dua hari berlalu sejak peristiwa mengerikan di rumah Nenek itu. Dua hari juga sejak Cika pertama kali merasakan pingsan. Pingsan karena alasan yang begitu menyedihkan.

Dan, itu berarti, sudah dua hari juga Cika demam dan tak pernah keluar dari kamarnya.

Setelah Cika pingsan, suhu tubuh gadis itu naik tinggi.

Dia terlalu terkejut untuk menerima fakta yang tak pernah ia bayangkan.

Papa kesayangannya... kebanggannya...

Sahabatnya...

Cika meneteskan air matanya lagi mengingat itu.

Dia yang tengah berbaring menyamping itu merasakan bantalnya basah, tubuhnya mengigil kala mendengar teriakan demi teriakan yang berasal dari luar kamarnya.

"SUDAH SAYA BILANG, KAMU GAK BOLEH MENEMUI CIKA LAGI!"

"CIKA ANAK SAYA, SEKAR! SAYA INGIN MENEMUINYA!"

"KAMU KEHILANGAN HAK ITU TEPAT SAAT KAMU MEMUTUSKAN MENDUA, ADI!"

"SAYA TAU SAYA SALAH, TAPI TOLONG IZINKAN SAYA MENEMUI ANAK SAYA!"

"JANGAN HARAP!"

Cika memejamkan matanya, hatinya remuk mendengar teriakan demi teriakan itu.

Keluarganya yang selama ini jauh dari kata pertengkaran berubah dalam sekejap. Semuanya jadi terasa mengerikan buat Cika. Semua terasa menyakitkan.

Bahkan, jika Tuhan memberikan simulasi neraka, Cika rasa, keluarganya yang sekarang adalah simulasi itu. Keluarganya terasa seperti neraka.

"Tolong Kar. Ijinkan saya menemuinya! Saya tetap Papanya Cika..."

"SEKALI SAYA BILANG TIDAK, YA TIDAK, ADI!"

"Jangan kurang ajar kamu Sekar! Saya masih suamimu!!"

"Tidak lama lagi!" Sekar, Mama Cika berteriak.

'Plak!'

Tubuh Cika menegang mendengar suara tamparan itu. Dagunya mengeras, apalagi kala mendengar suara Papa yang bergetar.

"M-maaf S-sayang... A-aku g--"

"BRENGSEK KAMU MAS!"

Cika tak tahan, dia mengubah posisinya menjadi duduk, meraih barang terdekat, dia melemparkannya ke arah kaca di kamarnya.

'PRANG!'

Suara memekakkan yang ditimbulkan dari benturan kaca dan jam beker membuat suara pertengkaran itu berhenti.

Tak lama, derap kaki terdengar mendekati pintu.

"Cika sayang, ada apa?"

Pintu kamar Cika terbuka secara kasar. Menampilkan figur pria dan wanita yang tampak khawatir. Ya, itu Papa dan Mamanya Cika.

Papa yang melihat kaca rias Cika yang pecah hendak memasuki kamar anak gadisnya itu. "Kenapa bisa pecah, Nak. Kenap--"

"Pergi."

Ujaran dingin Cika itu menghentikan langkah Papa Cika, Adi. Pria yang nyaris memasuki kamar anaknya itu mematung di depan pintu yang tadi ia buka dengan kasar. Matanya yang terbeliak menatap Cika dengan pandangan kosong.

"K-kamu b-bilang a--"

"Pergi." Cika berujar lagi. Tatapannya yang menusuk terarah pada Papanya yang kini membeku.

Melihat tak ada reaksi dari Papanya, Cika tersenyum miring kini, "Saya kira Anda hanya tidak bisa setia." dia berujar tajam, "Ternyata, juga tidak bisa mendengar, ya?" lanjut gadis itu dingin.

Papa terhenyak. Dia menatap Cika yang kini memandangnya penuh kebencian.

"Mama bisa usir Pria itu, kah? Cika muak ngeliatnya." kali ini Cika berujar pada Mamanya yang juga membeku. Terkejut melihat perlakuan kasar anaknya yang selama ini dikenal lembut. "Ma?" panggil Cika menyadarkan.

Sekar, Mama Cika yang biasanya sebenarnya tidak pernah suka anak yang bertingkah kurang ajar pada orangtuanya, tetapi, karena rasa sakit hatinya, Sekar segera menatap Adi tajam. "Dengar sendiri kata Cika, kan? Pergi!" katanya seraya mendorong Adi keras.

Adi yang masih terkejut dan tak siap sontak terhuyung. Namun, kala kesadarannya kembali, dia segera mencoba lagi untuk mendekati Cika.

"Cika anak Papa, say--"

"Pergi!" Sekar segera memotong ucapan Adi. Dengan kasar, dia mendorong bahu Adi. Membuat Pria yang tengah kalut itu kehilangan kendali atas emosinya.

"KAMU?!?!" Tangannya terangkat, hendak menampar Sekar lagi.

"Papa bukan lagi Papanya Cika semenjak Papa mengangkat tangan pada Mamanya Cika untuk pertama kalinya."

Suara Cika yang dingin membuat pergerakan tangan Adi terhenti.

Pria berusia 40 tahunan itu menatap Cika dengan tatapan nanar.

"Dan kalau Papa mengangkat tangan untuk menampar Mama lagi... Cika gak yakin kalau Cika masih sanggup buat berpikir Papanya Cika masih ada. Cika pasti akan berpikir kalau Papanya Cika sudah tiada."

Dan perkataan lanjutan dari Cika itu berhasil menampar Adi.

Dia... benar-benar sudah melukai putrinya.

"Pergi, Mas."

Kali ini, lirihan Sekar berhasil membuat Adi menoleh. Pria itu menatap Istri sahnya yang kini memandangnya dengan tatapan kosong dan kekecewaan.

"Sekar capek liat Mas."

Dan perkataan final Sang Istri itu membuat sesuatu dalam dada Adi hancur berkeping-keping.

Dia selama ini mencintai Sekar tanpa syarat. Dia menyayanginya sepenuh hati.

17 tahun lalu, Adi hanya jenuh dengan Sekar. Dia melakukan kesalahan besar kala itu. Dia bermain api dengan seorang wanita, Yena namanya.

Namun, setelah 2 bulan bersama Yena, Adi tersadar akan perbuatannya, dia memutuskan untuk jujur pada Yena mengenai statusnya dan meninggalkannya.

Mulanya, akhir hubungan keduanya itu diterima dengan lapang dada oleh kedua belah pihak, tapi, kala Yena menyadari dirinya mengandung, dia jadi bimbang.

Puncaknya, kemarin lusa, perbuatan dosa Adi di masa lalu menjadi bumerang baginya.

Dia harus kehilangan istri tercintanya, putrinya, dan yang paling menyakitkan, dia melukai kedua wanita paling berharga dalam hidupnya itu.

Adi menyesal. Sungguh.

Dan dia hancur karenanya.

Jadi, karena menyadari kesalahannya, Adi hanya mengangguk mengerti, kini mengalah pada egonya.

Dia berbalik pergi.

Meninggalkan Sekar dan Cika yang kini memandangnya dengan tatapan penuh kehancuran.

Mereka semua... hancur.

***

Aku buat cerita apa, sih, cuk?

Adeh...

Baca y GEZ

Salam
inggitariana

Lost [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang