Setelah hari dimana Mama Sekar menampar Cika, hubungan antara ibu dan anak itu merenggang.
Jelas ada jarak yang cukup jauh disana. Ada kecanggungan yang tampak nyata diantara keduanya.
Sekar terus-menerus mencoba menghindari Sang anak, mungkin karena merasa bersalah, sedangkan Cika juga tidak berani menatap Sang Mama.
Hubungan keduanya... jauh dari kata baik-baik saja.
Hubungan yang awalnya sangat hangat, kini perlahan membeku karena ego dan rasa bersalah.
Dan kini, Cika tengah berada di ruang makan rumahnya. Sendirian.
Gadis yang hendak berangkat sekolah itu memakan nasi goreng --menu sarapannya pagi ini-- sendirian. Wajahnya sendu, pikirannya melanglang buana ke suasana rumahnya yang dulu, sebelum semuanya hancur.
"Cika sayang! Sarapan, nak!"
Seruan itu membuat Cika yang baru selesai memakai kaos kaki merengut.
Dia sudah dipanggil dua kali, padahal dia sudah bilang bakal turun sebentar lagi. Papanya sungguh bukan orang yang penyabar. Menyebalkan.
"Sebentar, Papa!" Cika membalas sebal.
Setelah kedua kaos kakinya ia kenakan, Cika turun menuju ruang makan. Dia mengenakan alas kaki berupa sandal berbulu dengan motif kelinci putih.
Setelah sampai di meja makan, Cika mengambil posisi dimana ia biasa duduk.
Cika membalik piring yang tersedia, lantas mengisinya dengan satu centong nasi goreng kesukaannya dan Papa.
"Sudah, Nak?"
Suara Papa membuat Cika meliriknya, ia mengangguk kecil, wajahnya tetap cemberut, masih sebal.
Papa geleng-geleng kepala saja melihat itu. Kini, beliau ganti menatap Mama Sekar, "Sayang, duduk dulu, udah selesai semua itu yang kamu siapkan. Ayo kita doa dulu, lalu makan," ujarnya lembut.
Cika yang semula cemberut jadi tersenyum tipis menyaksikan tingkah Papanya itu.
Kalau nanti Cika menikah, dia ingin menikahi sesosok pria seperti Papanya.
Dia ingin diperlakukan seperti Mama. Disayangi dengan sepenuh hati.
"Ayo sayang-sayangnya Papa, kita doa. Dan, selamat makan!"
Cika dan Mama Sekar sontak tersenyum, sembari membalas, "Selamat makan,"
Dan suasana hangat di meja makan tercipta setelahnya.
"Non?"
Cika tersentak kala bahunya ditepuk pelan.
Dia menoleh, menatap Bik Sum yang menatapnya khawatir.
"Dimakan, Non," Bik Sum mengingatkan.
Cika tersenyum miris, "Sepi, ya, Bik," dia berujar gamang.
Bik Sum menahan napas, dia menatap Cika sendu. "Nanti Non telat. Ayo cepat dihabiskan, Non," Beliau memilih tak menjawab. Tetap mengingatkan Cika untuk memakan sarapannya.
Membuat Cika mengangguk kecil, sebelum akhirnya mulai menyuap sesendok demi sesendok nasi goreng itu ke mulutnya.
Membuat Bik Sum yang merasa Cika sudah memakan makanannya kembali ke dapur guna mempersiapkan bekal yang akan Cika bawa hari ini.
Beliau tak menyadari, bahwa tepat selangkah setelah ia beranjak, air mata mulai menetes dari mata Cika.
Ya, gadis itu perlahan terisak walau tangannya tetap menyuap sesendok nasi.
Karena, demi apapun, ini adalah sarapan tersunyi yang pernah Cika alami.
Sebelumnya, walau tak ada Papa, tapi masih ada Mama yang menemani Cika makan.
Namun, sekarang, Cika sendirian.
Tidak ada Papa, pun, tidak ada Mama.
Hanya Cika seorang.
Dan dia kini menyadari bahwa dia... sudah benar-benar sendirian.
***
Gue gak tau ini apa, tapi yodahlah ya.
![](https://img.wattpad.com/cover/289767466-288-k785364.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost [Slow Update]
Short StoryCika itu punya segalanya. Keluarga yang harmonis, sahabat yang baik hati, kekasih yang manis dan setia, prestasi yang gemilang, bahkan, bakat segudang. Cika itu punya segalanya. Dan dia bahagia karena itu. Namun... bagaimana jika dalam waktu yang be...