06 : Bully

223 27 0
                                    

Hari berlalu dengan lambat buat Cika.

Semuanya terasa menyakitkan. Hari-hari berjalan dengan begitu mengerikan.

Ajuan cerai Mama untuk Papa. Sidang mediasi yang dijalani mereka, yang tentunya tidak berujung kata damai.

Dan yang tersulit, paksaan dari kedua orangtuanya untuk memilih untuk tinggal dengan siapa.

Rasanya begitu menyesakan dan menyiksa.

Sebenarnya, kalau boleh egois, Cika tak mau memilih. Dia ingin hidup bersama-sama dengan kedua orangtuanya dengan bahagia. Seperti hidupnya sebelum acara keluarga di rumah Nenek hari itu.

"Sayang, terimakasih sudah memilih Mama, Nak."

Perkataan itu membuat lamunan Cika buyar. Dia segera menatap Mama yang kini mengusap kepalanya.

Cika merasakan dadanya menyesak kala menyadari pipi Mama yang makin tirus, kantung matanya juga menghitam, Mama pasti banyak pikiran.

Jadi, Cika segera melebarkan peluk, dia memeluk Mamanya erat. "Sama-sama, Ma." katanya.

Mama tersenyum, mengacak rambut Cika sekali lagi. "Jangan sembarang berteman lagi, Nak." Mama berujar tiba-tiba. Pandangan matanya menajam, "Apalagi sama anak haram." lanjutnya.

Cika terhenyak, dia mengerti apa yang dimaksud Mamanya.

Dulu, Cika sering bercerita mengenai Syifa kepada Mamanya. Dia menceritakan semuanya, tanpa terkecuali.

Dan karena sejatinya Mama adalah orang yang sangat baik, Mama tak mempermasalahkan siapa Syifa dan tidak mempermasalahkan Cika yang bersahabat dengannya.

Lantas, tentu saja, mendapat berita yang begitu mengejutkan bagi Mama, mengenai siapa Syifa yang sebenarnya, Mama pasti jadi trauma.

"Baik, Ma." Cika membalas dengan senyum. Sedangkan tak ada yang tau betapa hatinya terluka.

Senyum Mama makin lebar. "Oh iya, setau Mama, anak haram itu anak beasiswa, kan?" celetukan Mama itu membuat punggung Cika mendingin sesaat. Entah kenapa, gadis berusia 17 tahun itu merasakan akan ada hal buruk.

"I-iya, Ma." Cika mengiyakan.

Senyum Mama makin lebar, kontras dengan tatapannya yang menyiratkan sinar keji. "Anak Mama selalu jadi yang terbaik, kan?" tanyanya menggantung.

Cika makin membeku, tetapi, ia mengangguk kaku.

"Kalau gitu, bisa gak pertahankan semua yang kamu miliki sekarang? Ah, kalau bisa, kalahkan anak haram itu, dan tunjukkan pada Papamu bahwa kamulah satu-satunya Putri terbaik yang harusnya ia pertahankan."

Mendengar itu, Cika langsung merasakan hatinya mencelos.

Dia... jadi alat balas dendam, eh?

"Bisa lakukan itu demi Mama, kan, Nak?"

Ujaran penuh permohonan yang dilontarkan Mama itu menggores hati Cika. Namun, tak ada yang bisa gadis itu lakukan selain mengangguk kaku. "Tentu, Ma." jawabnya pasrah.

Mama tersenyum puas.

Sekarang, mari tunjukkan pada jalang kecil mantan suaminya itu. Anak siapa yang lebih baik.

- - # - -

Sesampainya di sekolah, Cika tak bersikap seperti biasanya. Ah, ralat, Cika bahkan sudah tampak asing sejak pertama kali ia kembali sekolah setelah ijin sakit selama seminggu.

Namun, tetap saja, hari ini mungkin puncak perubahan gadis itu.

Wajah yang biasanya dingin itu tampak emosi. Bila tatapannya itu sebuah pisau, tatapan itu pasti akan mengoyak tubuh orang yang dilihatnya.

Tak sampai disitu, tatapan mata Cika sejak tadi meliar, seolah mencari mangsa. Dan saat ia menemukan mangsanya, Cika segera bangkit dan beranjak menghampirinya.

'Plak!'

Suara tamparan itu mengejutkan semua yang ada di kelas.

Mereka terkejut karena Sang Primadona baik hati kini dengan tega menampar seseorang. Parahnya, itu adalah sahabatnya sendiri, Syifa.

"Dasar pembawa sial!" Cika berteriak murka.

Tak memperdulikan tatapan terkejut yang Syifa layangkan, Cika kini meraih rambutnya Syifa, menjambaknya keras. "Karena Lo, Nyokap gue berubah, anjing!" gadis itu berseru keras. Matanya yang memerah, menatap Syifa dengan kobaran kebencian. "Karena Lo, semuanya berantakan!" Cika berujar lagi. Tak memperdulikan ringisan penuh kesakitan yang kini Syifa layangkan.

"Kenapa Lo gak mati aja sih, hah?!"

Ucapan bernada tinggi yang Cika lontarkan itu bertepatan dengan masuknya seorang laki-laki ke kelas Cika.

Laki-laki itu terkejut, dan dengan refleks, ia menarik Syifa dari cengkeraman Cika, kemudian melindunginya di balik punggungnya.

"Apa-apaan kamu, Cik?!" Seru laki-laki itu keras.

Cika tampak terkejut melihat dan mendengar bentakan dari laki-laki itu, namun, senyum miringnya sontak terulas. "Ini bukan urusan kamu, Tam," katanya dingin. "Minggir! Aku harus ngasih pelajaran ke cewek sialan di belakang kamu itu!" lanjutnya murka.

Tama, yang semula datang untuk menghampiri Cika dan bertanya ada apa dengan gadisnya itu selama seminggu kebelakang dibuat terkejut. Dirinya seolah tak mengenal gadis yang berstatus sebagai kekasihnya itu.

"Minggir, Tam!" 

Perkataan itu membuat Tama tersentak. Nalurinya sebagai ketua OSIS mengambil alih. "Ini urusan aku karena kamu melukai salah seorang anggota SMA, Cik. Aku ketua OSIS." katanya tegas.

Cika tertawa sumbang, "Minggir, Anjing!" makinya emosi seraya mendorong tubuh Tama keras

Tama membeku kini. Yang di detik selanjutnya, Ia melakukan sebuah kesalahan besar. Ia balas mendorong Cika dengan emosi, membuat pinggang gadis itu membentur pinggiran meja dengan keras.

Tak hanya sampai disitu, Tama segera mencekram lengan Cika dengan emosi yang memuncak. Dia menyeret gadis itu keluar kelas.

"Ananda Cika yang terhormat. Kayaknya gue perlu ngasih Lo pelajaran," Tama berujar dengan dingin di tengah-tengah perjalanan. "Laporan ke BK dengan tuduhan pembully-an, itu cukup parah bukan?"

Dan itu berhasil membuat Cika terhenyak. Ia tak lagi merasakan sakit akibat cengkraman Tama pada lengannya.

Daripada itu, bahunya melemas kala menyadari satu hal.

Dia pasti akan membuat Mama kecewa.

***

Hai tayo hai tayo
Dia bis kecil ramah

Melaju, melambat,
Cika enggak akan selamat.

Eh?

Hehe

Duh

Kaburrrrrrr

Salam
inggitariana

Lost [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang