08 : Kemarahan

181 27 0
                                    

Tak pernah Cika duga sebelumnya bahwa dia akan menyaksikan sahabatnya sendiri koma. Apalagi, sebabnya begitu memilukan.

Cika kini ada di ruang rawat di rumah sakit. Di sekitarnya, ada keluarga besarnya yang kini memandangnya menghakimi.

Mereka kira, semua yang terjadi kini adalah salah Cika.

Biasa, Tiara yang salah paham sudah keburu menyampaikan 'sudut pandangnya yang salah' kepada semua orang. Dia tak memberikan Cika kesempatan untuk mengelak.

Otomatis, pandangan menghakimi lah yang kini diperoleh Cika.

Membuat Cika jadi merasa seolah ada beban yang menggelayuti punggungnya kala menyadari semua tatapan penuh penghakiman itu terarah padanya. Dia yang biasa ditatap dengan tatapan bangga itu merasa sesak.

Untuk pertama kalinya, dia ditatap dengan begitu hina.

Jujur saja, itu membuat Cika tertekan sehingga keberaniannya untuk menjelaskan semua kesalahpahaman ini menghilang.

Dia yang kini ada diantara keluarga ayahnya hanya mampu duduk diam di sudut terluar jangkauan keluarga ayahnya itu.

Dengan tangan yang saling bertautan di atas pahanya, Cika menunggu Sang Mama tiba. Dia mungkin akan didengarkan kala Mama sudah tiba.

Setidaknya, kalau ada Mamanya, ada satu orang pendukung di balik Cika. Dia tak akan lagi merasa tersudut dan mampu menjelaskan semua kesalahpahaman ini.

'Tap Tap Tap'

"Cika!"

Seruan dan langkah terburu itu membuat Cika mendongakkan kepalanya. Kala netranya menemukan sosok Mama yang berderap ke arahnya, Cika tersenyum lega.

Namun, kala Mama sudah di hadapannya, senyum itu menghilang...

'Plak!'

"Kurang ajar!"

... bersamaan dengan tamparan dan makian yang keluar dari mulut Mamanya.

Cika menegang kala bahunya dicengkeram oleh Mamanya, "Saya tidak pernah mendidik kamu menjadi bajingan seperti Papamu!" bentak Mama keras. Wanita itu mengguncang tubuh anaknya dengan kasar.

"Jangan bawa-bawa kakakku karena semua itu salahmu yang tak becus mendidik anak!"

Seruan dari tantenya Cika, Mamanya Tiara itu merebut atensi Cika dan Sekar.

Sekar memandang mantan iparnya itu tajam selama sesaat, sebelum akhirnya atensinya kembali lagi pada Cika yang bahunya masih ia cengkram.

Dengan kasar, Sekar menghempaskan tubuh Cika keras, membuat gadis itu jadi terjatuh dengan kasar ke arah lantai putih rumah sakit yang dingin.

Posisi Cika kini seolah bersimpuh di hadapan keluarga besar Papanya.

"Saya tidak pernah mendidiknya begitu," Mamanya Cika berujar dingin. Mata wanita itu menajam kala melihat siluet mantan suaminya yang baru keluar dari ruang rawat inap Syifa. Tangan Sekar sontak menunjuk wajah Adi, "Itu AJARANNYA! DIA YANG MENGAJARKAN ANAK SIALAN ITU JADI BAJINGAN!" bentak wanita itu kalut.

Cika tersentak, kepalanya menunduk dalam kala mendengar itu.

Pasti ada Papanya.

Namun, dunia Cika hancur berantakan kala Papanya membalas dingin.

"Saya tidak pernah merasa membesarkan seorang pembunuh," tekannya. "Dia bukan anak saya lagi mulai sekarang. Seperti permintaannya di kamarnya Minggu lalu."

Dan keinginan Cika untuk meluruskan kesalahpahaman hilang sudah.

Dia jadi menyadari satu hal, selama ini... dia dibangga-banggakan hanya karena dia 'dianggap baik'.

Dan dalam kemarahan semua orang ini, Cika jadi mengerti kedudukannya yang sebenarnya.

Dia tak lebih dari seonggok sampah saat melakukan satu kesalahan.

Karena... tak ada yang mau mengakuinya.

Dia benar-benar sudah dibuang.

***

Ya Allah Cik, kamu bukan sampah...

Tapi kalo kamu tetap merasa kamu sampah, sini aku pungut...

Aku daur ulang nanti, biar jadi barang berharga...

Dan biar orang-orang yang buang kamu merasa menyesal.

Salam
inggitariana

Lost [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang