07 : Pembunuh?

207 24 0
                                    

Selepas laporan ke BK nya itu, Cika harus bersyukur karena dirinya termasuk siswi teladan yang menyumbang banyak prestasi ke sekolahnya.

Karena, dengan begitu, Cika selamat. Dia tak mendapat skorsing seperti yang seharusnya.

Dia hanya mendapat SP yang sebenarnya harus diserahkan kepada orangtuanya. Namun, Cika tak melakukan itu. Dia tak menyampaikan SP itu kepada Mamanya.

Toh, SP nya bukan berupa panggilan orang tua.

Dan, setelah kejadian itu, Cika bertekad tidak akan berurusan lagi dengan Syifa.

Tak peduli apapun yang terjadi pada Syifa, itu bukan urusannya.

Dia hanya harus mempertahankan prestasinya dan mengalahkan Syifa. Itu saja, kan?

Cika yakin dia bisa.

Soalnya, tiga hari sudah berlalu sejak peristiwa pembully-an yang Cika lakukan kala itu, Cika benar-benar menghindari Syifa.

Dia benar-benar tak lagi berurusan dengan Syifa. Malas.

Namun, hari ini tampaknya lain. Hari ini sepertinya adalah hari tersial Cika.

Pasalnya, Cika yang selama tiga hari ini menghindari Syifa dengan cara berdiam di laboratorium fisika sekolahnya --yang terletak di lantai dua sekolahnya dan jarang dikunjungi siswa-siswi-- dalam upaya kaburnya, dia diikuti oleh Syifa.

Cika baru menyadarinya kala tepat setelah dia menaiki tangga, suara Syifa yang putus asa terdengar dari belakangnya.

"Cika, maafin Syifa..."

Cika berhenti melangkah. Selama sesaat, punggungnya mengaku mendengar nada putus asa yang keluar dari mulut Syifa itu.

Karena, kalau kalian lupa, biar Cika ingatkan. Syifa itu sahabat Cika. Dulu, sebelum semua hal ini terjadi.

Jadi, wajar jika terselip rasa tak tega dalam hati Cika.

Semua yang terjadi secara tiba-tiba membuat Cika belum terbiasa.

"Syifa tau maaf enggak akan berpengaruh apa-apa. Syifa paham. Tapi, maafin Syifa, Cika..."

Permohonan itu membuat dada Cika menyesak. Rasanya sesak luar biasa, seolah, Cika tengah ada di laut terdalam. Dia kesulitan bernapas.

"Cika... maaf..."

Puncaknya, lirihan terakhir yang keluar dari mulut Syifa membuat air mata yang selalu Cika tahan keluar.

Tak dapat dicegah, bahu Cika naik-turun, dia terisak hebat. Seolah, kesedihan yang selama ini ia tahan sendirian meluap hanya karena mendengar suara Syifa yang lembut itu.

Wajar, dulu, Cika selalu menceritakan keluh kesahnya kepada Syifa. Dia tak ragu untuk menangis di hadapan Syifa. Mereka bersahabat.

Melihat Cika yang terisak hebat, Syifa maju. Walau awalnya ragu-ragu, ia akhirnya melingkarkan tangannya di pundak Cika, memeluknya erat.

"Maafin Syifa, Cik..." Syifa akhirnya ikut terisak lirih, apalagi setelah merasakan Cika yang kini menyandarkan kepalanya pada bahunya.

Syifa tau Cika terluka. Dan itu karenanya.

Selama beberapa saat, Cika menumpahkan semua kesedihannya pada Syifa, dia mengadukan dukanya secara tersirat melalui tangisan.

Namun, kesadaran seolah menghantam Cika keras.

Sebuah kenangan berkelibat dalam benaknya.

"Tiara, jangan begitu kamu! Dia anak Om juga!"

"Bagaimana reaksi Cika kalau dia tau dia punya saudara haram, Mas!"

"Kamu penghianat, Mas!"

"Pergi dan urusi jalangmu sana! Aku dan Cika tak sudi lagi melihat wajahmu!"

"Kamu selalu jadi yang terbaik kan nak? Kalau begitu, bisa kamu kalahkan anak haram itu?"

"Kamu bisa buktikan bahwa kamu adalah satu-satunya Putri terbaik untuk Papamu itu kan?"

Kenangan demi kenangan itu membuat Cika terhenyak, sebelum akhirnya, kemarahan mengambil alih dirinya.

Dia melepaskan pelukannya Syifa padanya dengan kasar, membuat Syifa jadi tersentak.

Tak cukup sampai disitu, Cika mendorong tubuh Syifa keras, "Jangan peluk gue, bajingan!" makinya.

Syifa termundur. Tatapannya yang nanar terarah pada Cika.

Karena terkejut, Syifa mengambil sekali lagi langkah mundur, seolah lupa bahwa di belakangnya adalah tangga.

Dan kala kedua gadis itu menyadari situasi, semuanya terlambat.

Cika hanya mampu berteriak kala Syifa limbung dan jatuh dari tangga di hadapannya.

Bertepatan dengan itu, seseorang yang semula hanya berniat melintas jadi tergugu. Dengan bergetar, dia berlari ke arah Syifa. Matanya yang memancarkan kekecewaan terarah pada Cika yang masih syok di atas tangga.

Dan kala Cika dengan bergetar mencoba turun serta menghampiri Syifa, seseorang yang lain keburu hadir.

"Lo keterlaluan, Cik!" maki orang yang baru datang itu, kemudian segera mengangkat Syifa dan berlari panik menuju UKS.

Cika terpaku, "Tama..." gumamnya lirih.

Sedangkan satu orang yang masih menatap Cika penuh kekecewaan itu membuat Cika tersadar.

Sepertinya terjadi salah paham...

Jadi, dengan kewarasan yang tersisa, Cika segera berujar tergugu, "Tiara, i-ini g-gak seperti yang k-kamu pik--"

"Lo jahat, Cik!"

Tiara berteriak keras sebelum Cika berhasil menjelaskan semuanya.

Cika tersentak.

"Gue tau dia salah. Tapi Lo keterlaluan, anjing!" Tiara berujar marah. Tangannya menunjuk Cika geram.

Cika yang semula berniat menjelaskan jadi terpancing emosi melihat itu. Dia terkekeh pahit. "Gak usah nunjuk-nunjuk gue!" Dia balas membentak, menepis tangan Tiara keras. "Jangan lupa Lo juga sering bully dia!" dia lanjut membentak.

Membuat Tiara terhenyak, dia tertawa pahit, "Gue emang bully dia. Tapi gue gak pernah coba bunuh dia!" balas Tiara. Dia maju, sebelum akhirnya...

'Plak!'

Tiara menampar Cika keras.

"Lo bukan sepupu gue lagi, Cika!" Dia berteriak, membuat Cika yang terdiam karena terkejut itu membelalak. Wajahnya yang baru saja ditampar itu memerah.

Perlahan, Cika membalas tatapan Tiara.

Mata Cika memanas kala Tiara melanjutkan ucapannya.

"Gue nyesel udah pernah bully seseorang yang baik banget demi seorang pembunuh kayak Lo!"

***

Hai gais...

Buset ini kesian banget si Cika, cuk.

Padahal cuma salah paham... kan Syifa jatoh karena mundur-mundur dewek...

Salam
inggitariana

Lost [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang