05 : Murka

213 30 4
                                    

Tak disangka, absennya Cika dari sekolah memakan waktu sampai satu Minggu.

Dan tepat di hari Senin ini, Cika berangkat ke sekolahnya.

Dia kali ini diantar Pak Dadang, supir pribadi keluarganya. Bukan lagi diantar oleh Papa kesayangannya, dulu.

Ah, kan. Lagi-lagi Cika mengingat Pria bajingan itu.

"Non, sudah sampai,"

Cika melirik kala Pak Dadang buka suara. Dia melirik ke arah sekitar. Benar, ini sudah di depan gerbang sekolahnya. Dan suasana sudah mulai ramai.

Jadi, Cika segera turun dari mobilnya. Dia menutup pintu mobil yang ia tumpangi tadi dengan kasar.

Meninggalkan Pak Dadang yang jadi menatapnya iba.

Dia mengerti anak majikannya itu pasti sangat tertekan.

Benar-benar anak yang malang.

- - # - -

Absennya Cika dari sekolah selama seminggu ternyata membawa dampak yang cukup besar.

Sekolah heboh karena Cika yang kembali masuk.

Mereka yang tak tau masalah yang Cika hadapi bersikap ramah pada gadis itu. Mereka menyapa Cika, menanyai kabarnya.

Namun, tak ada satupun yang Cika pedulikan. Gadis itu masih cukup terluka atas perilaku Papanya. Dia masih berduka.

Cika masih tak memiliki energi untuk berbaur dan kembali ceria.

Ah, atau, Cika tak mungkin kembali ceria.

'Bruk!'

"DASAR GAK TAU DIRI!"

Pekikan tak asing itu membuat langkah Cika berhenti. Gadis yang menjabat sebagai Primadona nya SMA Aditama itu memandang ke arah sumber suara, yang kemudian netranya menangkap sosok Tiara yang tengah berucap galak.

Di hadapannya, ada sesosok gadis yang kini terduduk dengan menyedihkan.

Bisik-bisik mulai terdengar dari sekeliling Cika.

"Eh liat, tuh. Tiara pasti abis dimarahin Cika."

"Anjir, makin hari, Tiara makin sadis aja ngebully Syifa."

"Wah, pelindung nya Syifa udah balik. Tiara pasti K.O."

Cika tersenyum penuh arti mendengar itu.

Menghela napas, gadis itu segera memilih untuk berbalik arah.

Dia memilih jalur lain untuk ke kelasnya. Dia tak akan membela Syifa lagi.

Bukannya tak kasihan melihat Syifa yang diperlukan buruk begitu, hanya saja, hati Cika selalu dibuat remuk kala mengingat peristiwa seminggu lalu.

Syifa itu... saudara tirinya.

Syifa itu... anak haram Papanya.

Syifa itu... dia... penghancur keluarganya.

Dan Cika benci gadis itu.

Karena, andai Syifa tak pernah ada di dunia, pasti keluarga kecilnya akan baik-baik saja, kan?

Andai Syifa tak ada di dunia, Mama dan Papanya Cika tak akan duduk di meja hijau, kan?

Andai Syifa tak pernah ada, Papa dan Mamanya Cika tak harus mengajukan dokumen perpisahan, kan?

"Cika!!"

Langkah kaki Cika terhenti kala seruan tak asing dan rangkulan hangat yang Cika rasakan pada bahunya.

Tubuh Cika menegang.

"Cika... maafin Syifa."

Dan ucapan penuh permohonan itu berhasil membuat emosi Cika yang tak stabil jadi memuncak.

Cika menghempaskan tangan Syifa kasar. Matanya yang tajam menghunus mata Syifa.

Cika pasti akan segera mengucapkan kata-kata kasar kalau saja perhatiannya tak teralih oleh raut wajah Syifa yang baru ia sadari terasa tak asing.

Mirip Papa.

"Maafin Syifa, Cik. Syifa minta maaf. Syifa gak tau kalo bakal gini. Syifa minta maaf..."

Dan perkataan Syifa ini berhasil membuat Cika yang semula terpaku jadi tersadar.

Dia menatap Syifa dengan kobaran kebencian. Rahangnya mengetat, emosi.

"Maafin Syif--"

"MAAF LO GAK GUNA, ANJING!" Seruan Cika yang tiba-tiba itu sontak mengagetkan koridor sekolah yang pagi itu ramai karena hendak upacara.

"KEHADIRAN LO ITU BENCANA, ANJING!" Cika masih lanjut berteriak, tak peduli pada Syifa yang kini berdiri kaku di hadapannya.

"Nyesel gue enggak dengerin orang-orang!" Cika kini merendahkan nada bicaranya. Namun tetap saja, nada bicaranya dingin sekali. "Deket sama anak haram kayak Lo cuma bawa bencana!!" Ujar Cika final, sebelum akhirnya melangkahkan kakinya pergi.

Meninggalkan Syifa yang perlahan meluruh ke lantai.

Syifa... kehilangan sahabat satu-satunya. Dia kehilangan satu-satunya orang yang selalu tulus padanya hanya karena seorang Ayah yang bahkan tak pernah ia kenal?

Apakah itu harga yang pantas untuk Syifa bayar?

Syifa mengerjap, membiarkan setetes air mata kini membasahi pipinya.

Mendadak, dia merasa bahwa lebih baik tak mengetahui siapa ayahnya kalau bayarannya adalah menerima murka Cika, sahabat terbaiknya.

***

Aku tuh suka ngetik pendek pendek gini bukan karena males atau apa.

Tapi karena kalo ngetik panjang, idenya gak cukup.

Huhu

Salam
inggitariana

Lost [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang