13 : Remuk

183 21 0
                                    

Apa yang bisa lebih menyakitkan bagi Cika selain kondisinya yang sekarang?

Sudah seminggu sejak kepergian Sang Mama. Namun, tak sekalipun Papanya berkunjung ke rumah selain hari pemakaman Mamanya.

Sungguh, tak ada yang lebih Cika harapkan selain kehadiran Sang Papa.

Cika hanya butuh Papanya sekarang.

Tak peduli dengan seluruh salah paham yang tengah hadir diantara keduanya, bukankah Cika tetap anak Papanya?

Bukankah Cika tetap darah dagingnya?

Bukankah...

Bukankah Cika tetap berhak atas setidaknya satu pelukan hangat darinya?

Pelukan hangat yang menegaskan pada Cika bahwa gadis itu tidak sendirian?

Bukankah... bukankah Papa tadinya sangat menyayanginya dan Mama?

Mengapa beliau tak sekalipun datang ke pengajian Sang Mama?

Mengapa...?

Cika sudah lelah menangis, sungguh.

Air matanya bahkan enggan keluar lagi sekarang.

Matanya bengkak, hidungnya sembab, selalu seperti itu.

Tapi, mau sebanyak dan sekeras apapun Cika menangis, Papanya tak pernah datang untuk menghiburnya.

Sepupunya pun tak pernah datang.

Belum lagi seseorang yang katanya kekasihnya.

Tak ada yang datang pada Cika.

Menegaskan lagi sebuah fakta bahwa Cika sudah benar-benar sendirian.

Iya, Cika tau bahwa people come and go, tapi, apakah harus bersamaan begini?

Cika tak kuat, serius.

Belum lagi fakta bahwa selepas seminggu sejak meninggalnya Sang Mama, dia harus mulai kembali ke sekolah.

Entah apa yang akan terjadi disana, Cika tak tau.

Apakah dia akan kembali di bully? Apakah ia akan dicaci maki?

Cika benar-benar tak tau tentang itu.

Dia juga... tak berniat cari tau.

"Non! Tuan Besar datang dan ingin bertemu Nona!"

Cika yang semula melamun, terkejut mendengar berita itu.

Tak dapat dicegah, senyumnya melebar.

Akhirnya, Papa datang! Cika sangat senang!

Dengan terburu, Cika melangkah ke ruang keluarga.

Matanya memanas kala melihat papanya duduk di single sofa berukuran cukup besar yang tersedia disana.

Mulanya, Cika melangkah mendekat. Gadis itu ingin menagih apa yang beberapa hari ini ia inginkan --sebuah pelukan-- tapi, Papa yang tampak menyadari hal itu segera mengibaskan tangannya.

"Duduk, Saya akan bicara," Papa berucap penuh wibawa, seperti yang selama ini dilakukannya dengan para koleganya. Tak ada lagi nada lembut dan penuh cinta yang selama ini Papa tujukan padanya. 

Cika menurut. Toh, selama ia bisa melihat wajah Papa, itu sama saja. Setidaknya, Cika tau dia tak sendirian. Masih ada Papanya.

"Karena Sekar meninggal, hak asuhmu jatuh ke tangan Saya,"

Cika menatap Papanya setelah ucapan itu terlontar.

"Tapi, kamu tau dengan jelas bahwa Saya dan keluarga besar Saya tidak akan sudi kamu tinggal di mansion kami. Kami tidak mau satu atap dengan seseorang bermental pembunuh sepertimu. Bahkan Sekar sekalipun dapat nasib buruk pastinya karena kamu,"

Dada Cika seolah ditikam jutaan pisau mendengar kalimat itu. Wajahnya memucat, sedangkan bibirnya mendadak kelu.

Dia... apa?

Pembawa... sial?

"Tapi, tentu saja Saya tidak akan bisa lepas tangan dari hidupmu. Saya akan tetap mengirimkan uang sehari-hari untukmu dan juga membayar sekolahmu," Jeda sejenak, Papa menatap Cika dengan pandangan mengejek, "Saya dengar nilaimu menurun? Jangan lanjut menurun. Nanti cita-citamu dan Mamamu untuk mengalahkan anak Saya, Syifa yang kini terbaring koma tidak akan tercapai," katanya penuh hinaan.

Papa kemudian berdiri, "Sudahlah. Saya harus pulang sekarang," Katanya seraya beranjak pergi.

Meninggalkan Cika yang kini terduduk dengan pandangan kosong.

Tadi itu... pasti bukan Papanya, kan?

Papa sangat menyayanginya. Bukan seperti sosok tadi.

Papanya yang lama juga sudah pergi?

Cika... sudah benar-benar sendiri?

Cika menghela napas. Dia sesungguhnya sangat ingin menangis, tapi tak ada satupun air mata yang keluar.

Tapi, satu yang pasti.

Gadis itu... benar-benar remuk sekarang.

***

No bacot-bacot club, ehe.

Bubay!

Lost [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang