Bagian ke Tujuh

17 4 0
                                        

Membran Kasih
~ Tujuh ~

Pagi masih memeluk dalam dingin tapi kesibukan di ruko sudah terasa. Bi Syifa baru selesai berjamaah dengan Wini, sementara Ibu salat di atas kasur sambil duduk. Terdengar lantunan ayat-ayat suci yang dilantunkun Ibu dengan suara seraknya, hanya sebentar saja.

Sambil menunggu Wifri dan Mang Kusdi pulang dari mesjid, Wini menyiapkan kopi untuk mereka ditambah tiga gelas teh manis.

"Jam berapa kita ke rumah sakit?" tanya Ibu sambil berusaha bangun."

"Ibu mau ke mana?"

"Mau mandi."

'Kuat?"

"Bi Syifa, tolong tuangkan air panas ke ember ya."

Wini perlahan dan hati-hati memandikan ibunya sambil duduk di kursi plastik. Badan Ibu semakin kurus. Diusapnya badan ibu dengan sabun, lalu mengeramasinya. Diguyurnya badan Ibu perlahan dengan air hangat. Pikiran Wini mengembara ke puluhan tahun silam saat dia dulu dimandikan Ibu.

Pukul tujuh, semua sudah siap. Wifri memanggil taksi online. Wini memapah Ibunya dengan sabar, duduk di bangku belakang sementara Mang Kusdi segera naik di kursi depan.

"Hati-hati ya." Wifri menatap mobil itu berjalan pelan sampai hilang keluar  cluster.

"Bi, aku juga ke kantor ya."

"Di mana?"

"Jauh sekali tinggal menyebrang. Itu kantornya," senyum Wifri sambil menunjuk kantornya di sebrang rumah.

"Oalah, kantor dan rumah hadap-hadapan," seringai Bibi dengan lucu.

🏡🏡🏡🏡🏡

"Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaikum salaam."

"Mohon maaf lahir dan batin ya Kang." Susan mengulurkan tangan. Wifri menangkupkan dua tangannya di dada. "Ya sama-sama." Susan jadi malu sendiri karena Kang Wahyu ternyata bukan orang yang biasa bersalaman dengan lawan jenis.

Ruang kantor sudah bersih, rapi dan wangi hasil kerja Dasril, sang office boy yang baru lulus sekolah menengah. Dia cekatan dan rajin, mau kerjakan apa saja yang diminta. Remaja yang tidak malu bekerja sebagai pesuruh, asal halal.

Berkali-kali Dimas dan Susan memandang pintu, menyangka Pak Dimas yang datang tapi baru karyawan lainnya, Heru dan Hani. Mereka pun saling bermaafan lalu duduk di kursinya masing-masing.

"Tumben Pak Dimas belum datang, biasanya datang gak telat malah kadang aku yang telat." Susan masih saja memandang pintu.

"Mungkin masih berkumpul dengan keluarganya. Kabarnya mbak kembarnya yang tinggal di Jogya datang, jadi wajar masih kangen," timpal Hani.

"Kenapa gak ditelepon saja?"

"Rasanya gak enak. Masa bawahan nanya kenapa bosnya telat?"

"Biasanya Pak Dimas kasih tau kalau berhalangan."

🏡🏡🏡🏡🏡

Setelah menunggu kurang lebih satu jam, akhirnya ibu dipanggil. "Bu Kusdiah Pramudya. Ditensi dulu ya." Seorang perawat memanggil lalu memeriksa tensi Ibu.

"170/100, cukup tinggi. Silahkan masuk ke ruang pemeriksaan."

"Silahkan duduk. Perkenalkan, saya dokter Amelia Putri, spesialis syaraf di rumah sakit ini."

Wini dan Ibu duduk di depan meja dokter dalam ruangan bernuansa putih gading.

"Apa yang Ibu rasakan?"

Membran KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang