Bagian ke Delapan Belas

13 3 0
                                    

Membran Kasih
~ Delapan Belas ~

Hari-hari Dimas dan Dinar mulai bersemu manis kembali. Setiap hari selalu berbalas salam, bertukar kabar bahkan hampir tiap hari bertemu setiap pulang kerja. Tentu bukan sesuatu yang aneh dilihat karena hampir semua orang tahunya mereka suami istri yang sudah lama menikah.

Seperti sore itu sepulang kerja, Dimas janjian dengan Dinar untuk bertemu, menjemput ke kantornya.

"Gimana Velfire ini, enak?" Dimas langsung bertanya setelah masuk dan duduk di samping Dinar.

"Enak dong, empuk. Mau Mas yang nyetir?"

"Boleh." Dinar beringsut ke sisi kiri di saat Dimas belum turun. Tanpa sengaja, tubuh mereka bersentuhan. Bagai tersengat voltase ribuan volt, jantung keduanya berdetak lebih kencang.

Dimas pun duduk di belakang kemudi, menyandarkan tubuhnya pada kursi. Sementara Dinar berusaha menahan desir halus yang meronta-ronta, dia membuang muka, tak mau kalau Dimas melihat wajahnya yang pasti bergelora.

"Kita pake Velfire dulu. Nanti kita balik lagi ke sini, Mas pindah mobil."

"Kita mau ke mana, Mas?"

"Mau nunjukin sesuatu."

Setelah melewati perjalanan sekitar dua puluh menit, Dimas membelokkan Velfire ke sebuah rumah mungil minimalis bernuansa abu di sebelah kiri jalan.

"Rumah siapa, Mas?' Dimas hanya tersenyum. Mengodok saku celananya lalu mengeluarkan seuntai kunci. Dibukanya gembok pagar lalu  mendorongnya.

"Nar duduk saja di kursi teras. Mas masukin mobil dulu."

Di samping carport ada lahan hijau dengan pohon mangga yang berbuah lebat, pohon pepaya dan bunga tabebuya yang bermekaran. Di teras dengan ubin abu, ditata pot-pot berbagai bunga yang subur dan terawat.

Sejenak saja Dinar duduk di situ, Dimas menghampiri Dinar, duduk berhadapan di kursi rotan berbantal motif bunga ungu.

"Mas belum jawab. Ini rumah siapa?"

"Rumah teman Mas."

"Kenapa Mas pegang gembok pagar?"

"Bukan cuma gembok pagar tapi semua kunci pintu rumah ini." Dimas lantas bangkit menuju pintu dan membuka kuncinya.

"Silahkan masuk Tuan Putri."

Dinar hanya mematung di kursi, merasa heran.

"Malah bengong, ayo masuk."

"Mana bisa, mana teman Mas?"

"Nanti Mas ceritakan."

Dinar melangkahkan kaki ke ruang tamu mungil dengan desain interior yang menawan. Sofa abu cukup kontras dengan dinding dan ubin putih bersih. Bantal persegi berwarna putih dan abu disusun bergantian. Di dinding telihat jarum jam besar yang ditanam. Di meja tamu ada beberapa toples kue dan permen. Dinar memperhatikan toples itu lalu membukanya.

"Amazing, ada permen coklat kesukaanku." Dinar merasa takjub,  Dimas hanya tersenyum simpul.

"Sini kita lihat ruang dalam," ajak Dimas antusias.

Ruang keluarga sekaligus ruang TV dan ruang makan. Di lantai terhampar karpet abu dengan desain kubisme menghadap TV layar datar 32 inch. Di  atas karpet ada beberapa bantal besar berbagai bentuk, bulat, bujur sangkar, trapesium dan jajaran genjang disertai tiga guling tatami kecil dengan sarung bermotif bunga ungu seperti bantal kursi rotan di teras.

Meja makan plastik abu dengan motif anyaman rotan berkursi empat buah terletak antara karpet dan dapur kecil tanpa sekat. Ada kompor empat tungku dengan oven di bawahnya, kulkas dua pintu, dispenser, tempat beras dan magic com di atas meja dapur berlapis keramik abu bermotif bunga. Di sebelah kanan, ada tangga berpegangan besi menuju lantai dua. Di bawahnya, wastafel terletak di sebelah kamar mandi bernuansa putih abu yang dilengkapi dengan kloset duduk, shower dan pemanas air di atasnya.

Membran KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang