Bagian ke Tiga

27 5 0
                                    

Membran Kasih
~ Tiga ~

Langit tanpa tiang. Matahari berada di titik zenit, tepat di atas kepala dan tak memberikan bayangan. Sinarnya sedang berada di puncak suhu tertinggi. Siang yang terik.

Peluh para tukang bagai butiran berlian, bukti kerja keras demi keluarga. Mereka yang berasal jauh dari Bandung biasanya pulang di awal bulan. Memberikan lembar-lembar rupiah untuk anak istri tercinta yang setia menunggu. Bagi yang tidak terlalu jauh, ada yang pulang setiap hari Sabtu.

"Kapan pulang, Mbah?" Wifri bertanya pada Mbah Karto, tukang paling tua yang masih bekerja. Usianya kisaran lima puluh enam tahun, masih kuat dan gagah.

"Nanti saja kalau mau lebaran," jawab Mbah Karto enteng. Sudah berbulan-bulan dia tidak pulang ke Jogya.

"Lebaran masih lama, Mbah."

"Gak apa-apa. Mbah pulang ke kampung juga sudah gak ada istri, sudah dipundut Gusti Allah."

"Sudah berapa lama?"

"Hampir dua tahun. Sakit angin duduk."

"Di Jogya ada siapa, Mbah?"

"Anak mantu cucu."

"Biasanya kakek kangen cucunya."

"Sering pidiokol."

"Uang Mbah sudang banyak dong?"

"Ditabung bakal modal anak bungsuku."

Mbah Karto bekerja di bagian pengecatan, tidak terlalu berat. Dia sudah lama bergabung dengan para tukang lainnya yang seumuran anaknya.

🏘️🏘️🏘️🏘️🏘️

Janji Allah itu pasti bagi orang yang menjadikan sabar dan salat sebagai penolong. Begitu pun Wifri. Ruko yang didapatnya mulai dibenahi. Sedikit demi sedikit diisi mebel dan peralatan dapur, juga barang elektronik. Rencananya, Wini akan membuka salon di situ. Kebetulan di cluster itu belum ada saingan. Harapan Wifri, Ibunya mau ikut pindah tapi selalu menolak. Ibu selalu bilang mau meninggal di rumah tuanya. Rumah kenangan peninggalan Ayah. Jadi, Wini pergi pulang saja. Selama ditinggal, Ibu akan ditemani Esti, sepupunya.

"Peralatan apa saja yang kamu butuhkan untuk salon?"

"Tempat cuci rambut, hair dryer, alat catok, berbagai gunting."

"Kira-kira berapa modalnya?"

"Wini punya tabungan, Kang. In syaa Allah cukup. Kalau pun kurang, Akang bisa bantu belikan perlengkapannya saja."

"Apa tuh?"

"Shampo, pewarna rambut, hair spray, lulur, make up ...."

"Au ah, Akang gak ngerti barang begituan."

"Ya iyalah, gak bakalan ngerti perabot cewek. Kalau sudah punya istri, Akang bakal ngerti."

"Mulai dech."

"Kasihan Ibu, ngebet punya mantu dari Akang."

"Makanya kamu buruan nikah, entar Akang nyusul." Wifri menjentik hidung bangir Wini.

"Apa ya nama salonnya, ada usul?

"Hmm ...."

"2 W."

"WW dong?"

"Ih Akang. Maksud Wini, Wifri dan Wini."

"Akang kan gak ikutan."

"Digabung saja jadi Wifni. Bagus kan?"

"Biasanya gabungan nama suami istri."

"Boleh, Kang?"

Membran KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang