Bagian ke Lima

29 7 10
                                        

Membran Kasih
~ Lima ~

Pagi selalu jadi waktu yang istimewa. Orang paling kaya adalah yang sanggup melaksanakan salat Fajar, bergulat dan mengalahkan rasa malas dan kantuk. Apalagi didahului qiyamullail di dua pertiha malam. Kita sering mendengar nasihat orang tua, jangan sampai rezeki dipatok ayam karena bangun kesiangan. Bahkan Rasul mengajarkan jangan tidur lagi setelah Subuh karena bisa mempersulit rezeki dan setelah Asar karena bisa membuat linglung.

Rumah Ibu kembali sepi. Wina dan Wira sudah pulang kembali dengan keluarga kecil mereka ke rumah masing-masing. Kembali hanya dihuni bertiga saja. Wifri masih cuti lebaran. Wini sudah mulai buka salon sejak kemarin. Wifri mulai kerja lagi Senin lusa.

Wifri mengambil perkedel jagung yang baru dimasak Wini. Duduk di kursi makan di depan gelas kopi yang masih mengepul. "Aw, panas."

"Baru juga keluar wajan, Kang, pasti masih panas. Lagian itu buat makan." Wini mengangkat panci dengan menggunakan lap, meletakkannya di atas meja. "Ini sayur sopnya, Kang."

"Nasi panas, perkedel panas, sayur panas, kopi pun panas."

"Asal jangan panas hati." Wini meletakkan dua piring disertai sendoknya. Satu untuknya dan satu untuk Akangnya. Untuk Ibu nanti disuapi di kamar.

"Tunggu sebentar sampai agak hangat, jangan ditiup nanti syetan ikutan niup."

Seminggu ini Ibu mengeluh sakit kepala. Wini sudah memeriksakan Ibu ke Puskesmas tapi ternyata sakit kepala Ibu tidak reda. Sebetulnya Ibu sering sakit kepala tapi sering tidak dirasa, cukup diobati obat warung.

"Sepertinya Ibu harus kita periksakan ke dokter spesialis syaraf."

"Rumah sakit terdekat di Cimareme tapi waktunya susah untuk kita. Wini gak tenang ninggalin Ibu kalau sakit walaupun ada Esti. Tetap saja keponakan beda dengan anak."

"Kita bujuk Ibu untuk ikut ke ruko. Dari sana dekat ke rumah sakit. Kita juga bisa bekerja dengan tenang."

"Coba kita bujuk sambil Wini suapi."

Dua saudara seiya sekata, saling menyayangi dan mendukung satu sama lain.

Selesai makan, Wifri masuk ke kamar Ibu. Wini memegang sepiring nasi ditambah dua buah perkedel. Wahya memegang mangkok berisi sop baso dan telur puyuh serta segelas teh manis hangat.

"Makan dulu ya, Bu." Wini meletakkan piring di atas nakas lalu memegang bahu Ibunya dengan lembut.

"Ibu gak lapar." Mata Ibu masih terpejam.

"Ibu harus makan biar cepat sembuh. Kan harus minum obat."  Wifri juga meletakkan mangkok sup di samping piring.

"Kepala Ibu masih sakit?" Wina membantu Ibu untuk duduk. Ditumpuknya tiga bantal untuk menyangga badan Ibu.

"Ya, Win, senut-senut, kadang berputar."

"Ibu mau ya diperiksa ke dokter syaraf?"

"Gak usah, nanti juga sembuh sendiri."

"Diperiksa lagi biar jelas. Ibu sering sakit kepala. Wini perhatikan Ibu sudah lama begini tapi gak dirasa."

"Begini Bu, Wifri mau bawa Ibu ke ruko, tinggal di sana dulu untuk sementara agar kami bisa bekerja dengan tenang. Di sini Ibu hanya ditemani Esti selama kami bekerja. Kalau ada apa-apa bakal sulit. Ruko dekat dengan rumah sakit yang bagus, lengkap."

"Ya, Bu tolong Ibu ikut kami. Sudah hampir setahun Kang Wifri punya ruko tapi Ibu belum pernah ke sana," bujuk Wini sambil menyuapkan sesendok nasi dan lauknya."

"Ibu belum pernah meninggalkan rumah setelah Ayah kalian meninggal. Ibu mau dekat dengan makam Ayah. Ibu mau meninggal di sini." Suara serak Ibu mulai diselingi sedan.

Membran KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang