Bagian ke Dua

44 6 2
                                        

Membran Kasih
~ Dua ~

Saat istimewa untuk curhat pada Sang Pemilik hati adalah di dua pertiga malam. Allah suka pada hamba-Nya yang meneteskan air mata dalam sujud panjang, mengetuk pintu langit saat orang lain masih dipeluk rasa enggan. Sama seperti saat Ayah Wifri dulu membangunkan dirinya tapi dia kalah pada bujuk rayu syetan untuk melanjutkan lelapnya.

Selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa. Di balik tangis penyesalan panjang, Wifri bertekad untuk selalu menjaga qiyamullailnya. Mendoakan almarhum Ayah, ibunya yang semakin tua dan ketiga adiknya. Dia memohon jodoh terbaik untuk Wini. Wifri tercenung, rasanya dia sombong tak pernah minta doa untuknya sendiri, untuk jodohnya.

🏘️🏘️🏘️🏘️🏘️

Mentari masih malu-malu menyapa. Embun masih menempel di dedaunan. Wangi tanah terguyur hujan tadi malam terasa menyegarkan di indra penghidu.

Wifri mengintip Ibunya di balik pintu kamar yang sedikit terkuak. Wajahnya sendu di balik mukena putih yang masih dipakainya. Gurat-gurat lelah tampak nyata. Lamat-lamat Wifri mendengar Ibunya mengaji. Ritual pagi yang tetap dilakukan Ibunya sejak dulu, sejak Wifri masih anak-anak. Ibunya wanita saleha, serasi bersanding dengan Ayahnya yang saleh. Wifri pun selesai melafalkan jus ke tujuh sebelum fazar. Berusaha mengaji satu juz setiap hari atau yang digaungkan dengan istilah ODOJ, One Day One Juz.

Dari dapur, Wifri mendengar Wini yang sedang memasak. Harum aroma ayam goreng menggugah selera.

"Wah Adik Akang tambah pintar masak.
Akang gak dengar kamu ngaji." Wifri mengendus-ngendus ke arah wajan.

"Wini sedang halangan. Jangan terlalu dekat, nanti minyaknya nyiprat lo." Wini menahan badan Wifri yang nyaris menyentuh wajan.

"Akang oilproof."

"Mana bisa? Kalau kena minyak panas pasti melepuh."

"Di panci itu masak apa?"

"Bubur, untuk Ibu. Belakangan, Ibu makin susah makan."

"Ya, titip Ibu ya. Nanti suapi."

"Beban batin Ibu berat mikirin Akang yang belum nikah."

"Akangjanji sama almarhum Ayah untuk mengantarkan adik-adik sampai sukses dan nikah."

"Janji itu pada yang masih hidup, Kang. Fikirkan diri Akang sendiri. Jangan hanya mikirin kami."

"Sudahlah, Akang mau berangkat.' Wifri mengalihkan pembicaraan.

"Sarapan dulu, Kang."

"Nanti saja di kantor."

"Akang selalu begitu. Ini masih pagi, belum jam enam."

"Akang harus segera berangkat. Anak-anak di proyek payah kalau Akang belum datang."

"Tuh kan, malah mikirin tukang."

"Sudah ah. Bikinin kopi ya."

🏘️🏘️🏘️🏘️🏘️

Rumah Wifri di KBB Kabupaten Bandung Barat lumayan jauh dari proyek di bilangan Buah Batu. Butuh waktu tempuh minimal tiga perempat jam dengan motor. Kalau pukul tujuh masih di jalan, bisa-bisa terjebak macet. Itulah sebabnya, Wifri selalu berangkat sebelum pukul enam.

Setelah pamit pada Ibu dan adiknya, Wifri pun bersiap di atas sadel Beat hitamnya. Motor yang dibelinya dari Pak Dimas, motor bekas, itu pun mencicil dengan potong gaji. Alhamdulillah sudah lunas.

Jalanan masih basah, sisa hujan semalam. Udara pagi semilirkan hawa yang menggigit. Wifri mengencangkan jaket kulitnya yang berwarna coklat. Dipadukan dengan celana jeans biru muda dan dilengkapi kaca mata hitam. Penampilan Wifri cukup mumpuni untuk membuat wanita melirik. Bukannya tak ada yang berusaha mencuri perhatiannya tapi wajah ibu dan adik-adiknya lebih menyita perhatian Wifri. Sekarang tinggal Wini yang belum dipinang. Wifri akan tetap menunggu adik bungsunya menikah sebelum dia mengakhiri masa lajang yang panjang.

Membran KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang