Katanya, jangan berharap atau menaruh rasa percaya pada suatu hal secara berlebih. Karena jika kecewa, sakitnya tidak akan main-main. Rey rasa, itu tidak salah. Ketika ia menganggap semua baik-baik saja dan teramat mempecayai suatu hal, nyatanya itu tidak seperti yang ia pikirkan.
Ia terlalu menaruh harapan besar. Ia berpikir bahwa tipu muslihat adalah hal tabu dalam keluarga ini. Tidak lagi, setelah ia mendengarkan percakapan dua orang itu.
Mereka menyebut dirinya sebagai tangga pijakan untuk menuju atas.
Tangga pijakan?
Jadi hanya sebatas hal itu? Hanya untuk itu saja ia sampai dibawa pergi dari rumah ibunya.
Rey mencengkram bola basket dengan kekuatan penuh, langkahnya penuh ambisi mendekat ke arah ring depan lalu dengan emosi yang meluap Rey melempar bola basketnya ke sana. Setelah melayang di antara udara, bola itu tepat masuk sesuai bidikan sang empu. Rey langsung menjatuhkan tubuhnya di tengah lapangan, ia terlentang dengan hati yang bergemuruh, dadanya naik turun, kaus bagian dadanya basah karena bulir-bulir keringat yang bersatu.
Rey menutup matanya menggunakan lengan. Serasa belum puas, menghancurkan bola basket dengan emosi jelas belum bisa meredakan amarahnya. Ia ingin berteriak, ia ingin bertanya pada keluarga itu bahwa apa arti dirinya bagi mereka. Apa memang hanya sebatas pijakan tangga menuju keuntungan? Jadi semua ini hanya demi uang?
Lagi suara kakeknya bergema di perungu, entah panggilan apa yang membuatnya menguping hingga bersandar di balik pintu selama hampir tiga puluh menit. Mereka merayakan kemenangan karena berhasil mendapatkannya, Rey menggelengkan kepalanya ingin mengenyahkan kalimat-kalimat yang menyakiti hatinya. Tapi, tak bisa. Kalimat itu sudah berhasil menusuk hatinya, perkataan mereka sangat membekas dalam ingatan Rey.
Rey memilih bangkit dari posisinya, tepat ketika Rey mulai duduk bola basket melayang ke arahnya. Rey dengan tanggap menangkap bola itu, lalu menatap si pelaku yang melempar bola ke arahnya. Ternyata itu ayahnya, menyapa dengan senyum hangat, pakaiannya sudah lebih santai memakai sendal rumahan dengan celana panjang.
"Sudah malam Rey, tidak kembali ke kamarmu?" Taehyung ikut mendudukkan tubuh di sebelah putranya. Kakinya melurus, sementara tangannya berada di belakang tubuh menopang punggung.
"Ayah," gumam Rey sepelan udara.
Walau samar Taehyung bisa mendengar itu, ia kemudian menatap Rey wajah anak itu terlihat murung. "Ada apa?"
"Apa arti ibuku bagimu?" Mata Rey bergulir untuk sejemang melirik. Ayahnya, terlihat menawan dengan tatanan rambut yang dibiarkan setengah mengikal hitam legam, ditambah dengan pahatan wajah sesuai proporsi. Rey tahu sekarang, dari mana ia mendapatkan gen-gen pada wajahnya. Ayahnya tampan, ibunya juga cantik. Mereka berdua sama-sama memiliki sisi masing-masing, pasangan yang serasi jika mereka bersanding. Tapi, entah apa yang salah. Rasanya hati mereka itu seperti lautan yang paling dalam, sulit sekali rasanya Rey menyelam untuk mengetahui tentang kedua orang tuanya.
Taehyung mendengus sebentar, saat berhasil mencerna perkataan Rey. "Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"
"Jawab saja," Rey mulai memaksa.
"Ibumu, wanita yang berhasil membuatku kacau, ibumu wanita pertama yang membuatku hampir gila dulu. Arti ibumu bagiku? Entahlah mungkin dia adalah perubahanku." Taehyung menerawang lagi. Ia jadi ingat, bagaimana dulu Taehyung membuat kekacauan yang merubah segalanya. Dulu Sujin layaknya seekor kelinci hutan yang polos, salah mengartikan tanaman beracun sebagai makanannya.
"Lalu apa artiku bagimu?" kata Rey seperti mengintrogasi.
"Kauu--"
"Apa aku hanya sebatas anakan tangga untukmu Ayah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ACONITE [√]
FanfictionSeperti tumbuhan beracun Aconite. Yang menghancurkan setiap sel-sel tubuh, memperlambat kerja jantung, hingga melemas sampai mati perlahan. Im Taehyung itu sama seperti Aconite, lari setelah menjejalkan racun ke dalam kehidupan Yoo Sujin.