18 | Changing Time

3.1K 346 65
                                    

Part ini rada panjang yah, sekitaran 3k word😭

Vote dan komennya juseyooooo❤

jika nemu typo atau apapun mohon dikoreksi, ngokey😚

-
-
-

Decit suara pantulan bola yang memantul pada lapangan yang keras kini menjadi suara satu-satunya yang paling terdengar, peluh yang membanjiri daerah pelipis hingga punggung dari seorang remaja laki-laki, lalu napas yang diambil secara rakus menjadi tanda betapa semangatnya ia memasukan bola basket ke arah ring di depannya.

Kaki-kaki panjangnya kini mulai terbentuk maskulin, rambut ikalnya setengah basah karena keringat yang membanjiri, tangannya yang kuat melempar bola itu ke arah depan tepat ke arah ring. Matanya berkilat penuh harap, tapi saat bola itu tidak mencapai target ia pun mendesah kecewa, dan berlari menangkap bolanya kembali, dan memantul-mantulkannya ke arah bawah.

"Kau tidak pulang?" suhut seorang remaja lelaki satunya yang mulai menyampirkan tas punggung.

"Nanti saja, aku menunggu jemputan" Rey, menjawab dengan nada datar, tangannya masih fokus memainkan bola. Sekilas ia melirik Hansol yang tengah membuka tutup botol

"Yasudah aku duluan," Hansol menepuk punggung Rey, Hansol berlari keluar lapangan, buru-buru memasuki sebuah mobil, di sana Hansol sudah ditunggu oleh ayahnya.

Rey melihat itu, ia melihat dari balik jaring-jaring lapangan basket, Hansol salah satu teman SMP yang dekat dengan dirinya. Ini bukan pertama kalinya Hansol dijemput oleh sang ayah. Terlihat di sana sebelum ayahnya membukakan pintu, Hansol mendapat elusan di belakang kepalanya.

Irikah?

Diam-diam, Rey ikut mengelus belakang kepalanya sendiri, lalu tersenyum kecut.

Ini sudah lama, Rey bukan lagi seorang anak kecil yang bisa ibunya bohongi. Rey meremas bola basketnya, remaja itu kemudian berlari, sembari kembali memantul-mantulan bola, dengan mata bercampur kabut kegundahan Rey melempar bola basket itu. Tepat, bolanya masuk kedalam ring sesuai arahannya.

Rey terdiam di tengah lapangan. Sepi, ia pun lalu manjatuhkan dirinya di tengah-tengah sana, berbaring di tengah lapangan sembari manatap langit siang yang terik. Rey menyipitkan matanya karena silau, lalu menjadikan lengannya sebagai bantalan.

Dalam pikirannya ia berkecamuk.

Ia mulai tumbuh, rasa keingintahuannya jauh menjadi semakin besar. Saat ia mulai masuk sekolah menengah pertama, ia memiliki beberapa teman tapi mereka semua memiliki ayah, ia jadi bertanya-tanya siapa ia sebenarnya? pertanyaan itu terus ia simpan semenjak usianya mulai memasuki usia remaja.

Jimin tentu bukanlah ayahnya. Rey ingat itu, mereka bertemu di bandara, dan Jimin mendekati ibunya, hingga sekarang jika boleh jujur. Rey tidak menyukai Jimin.

"Haloo jagoan sudah menunggu lama ya?" Rey terperanjat, cepat-cepat mendudukan diri. Menatap presensi seorang wanita seusia ibunya tengah tersenyum dan mengulurkan tangan membantunya untuk berdiri.

"Bibi Minji, bisa tidak jangan mengagetkanku" Rey menatap manajernya, yang terlihat mulai tidak sabar.

"Ayolah Rey, kita tidak punya banyak waktu. Sore nanti kau punya jadwal pemotretan, jangan terus bermain menghabiskan waktumu di lapangan basket" Minji mengomel, mengambil tas punggung Rey, dan mulai menarik-menarik tangan remaja itu.

"Nanti akan kusuruh ibu memecat Bibi Minji," Rey balas mengomel, karena kesal oleh Minji. Ayolah, ini masih jam tiga sore, dan jadwal pemotretannya pada pukul 5 sore nanti, Rey rasa ia masih punya waktu untuk bermain.

ACONITE [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang