Sebelum benar-benar memutuskan untuk menjadi atlet taekwondo, Giovanno kecil memohon kepada Mama dan Papa untuk menjadi atlet baseball. "Mama, mau yang banyak temennya aja. Gio mau yang ada timnya."
Papa tidak pernah membatasi ruang Giovanno. Sebisa mungkin, Papa bentangkan semua inginnya Giovanno agar anak itu bisa memilih segala yang hatinya inginkan. Namun, Giovanno yang masih kecil tentu belum memiliki pandangan yang seluas Papa. Kala itu Papa jelaskan bagaimana sulitnya Giovanno harus mengasah kemampuan berlarinya sebab yang terpenting di baseball adalah kecepatan dan ketangkasan dalam berlari, belum lagi koordinasi antara bola dan berbagai strategi yang dirancang tepat di titik dimana kita berada pada saat bermain.
Giovanno kecil masih mencoba merayu Papa agar dia bisa masuk tim baseball junior. "Berarti baseball susah? Terus taekwondo gak susah?" tanyanya. "Semuanya sama-sama susah, Nak. Tapi kamu akan lebih senang di taekwondo. Gapapa kalo Gio mau coba semuanya, Papa gak masalah. Nanti kita liat Gio sukanya yang mana. Karena untuk fokus, kamu harus pilih salah satu."
Giovanno tidak tahu apa alasannya untuk lebih memilih olahraga yang memiliki tim dibandingkan yang individual seperti taekwondo. Namun, Papanya benar. Giovanno lebih senang jika dia melakukan taekwondo. Akhirnya dia beranikan dirinya untuk fokus di taekwondo yang mengharuskan dia kuat di kakinya sendiri tanpa bantuan siapapun.
Di hari-hari pertama mempelajari taekwondo, Giovanno ingin menyerah karena merasa tidak nyaman dengan kesendirian. Dia sangat ingin berada dalam tim yang membuatnya semangat dalam mencapai suatu kemenangan bersama, bukannya berjuang sendirian demi medali dan piagam yang hanya akan menunjukkan namanya.
Memasuki tahun pertamanya menekuni taekwondo, Giovanno memiliki teman yang akhirnya dia jadikan sahabat baik. Revan Theodore. Revan kemudian menjadi alasan Giovanno semangat latihan sebab dia tidak pernah membuat Giovanno kesepian. Walaupun tidak dalam tim, namun Giovanno selalu punya Revan yang ada dalam setiap perjalanannya yang dia tempuh.
Revan adalah Revan yang sama yang tiba-tiba lolos ujian kenaikan sabuk tanpa kesusahan, Revan yang keluar masuk rumah sakit untuk terapi tulang selangkanya yang cedera, dan juga Revan yang berkali-kali memamerkan medali emasnya ke hadapan Giovanno guna memacu semangat yang sama dari Giovanno.
Dari Revan, Giovanno belajar apa itu arti dari sebuah usaha. Susah payah Revan kerahkan kemampuannya ketika latihan. Tak jarang, anak itu menangis menahan sakit di tulangnya yang katanya tidak bisa diajak kerja sama lagi. Lelahnya itu terlihat di kulit putihnya yang kemudian memunculkan berbagai memar. Namun, tidak pernah satu kalipun Giovanno mendengar Revan ingin berhenti.
Karir Revan selalu menjadi kebanggaan Giovanno. Dalam doanya yang dia panjatkan sebelum memulai pertandingan, selalu dia selipkan nama sahabatnya itu yang sering menghadapi perlombaan di waktu yang bersamaan dengannya. Selesai lomba, mereka sering foto bersebelahan dengan medali emas yang dikalungkan di leher masing-masing, tanda bahwa mereka berhasil mencapai kemenangan yang diinginkan bersama.
Ditiup angin yang tiba-tiba diikuti suara gemuruh, sore itu Giovanno memanggil nama Revan berulang kali dari sambungan telpon. Tak kunjung mendapat jawaban yang dia inginkan, Giovanno menutup sambungan itu lalu beranjak ke arah rumah.
Yujionna dan Kalaresh mengikuti di belakang Giovanno.
Karena langkah Giovanno terlampau cepat, Yujionna harus berlari untuk mengejar langkahnya yang tertinggal di belakang. Saat dia sudah bisa menyamakan langkah Giovanno, digengganmnya tangan kiri Giovanno yang terkepal hebat.
Masih dengan genggaman yang bertaut, Giovanno menghubungi nomor Mama dan Papanya ketika sudah sampai di rumah sebab dia tidak bisa lagi mengandalkan Revan yang tidak lagi mengangkat telponnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Okinawa | Remake
FanfictionHere in Okinawa, let's just let the wave washes the pain away.