Di stadion terbesar di Jakarta malam itu, Kalaresh akan mempertaruhkan kemenangan timnya demi mengisi slot di babak final di minggu berikutnya.
Dia tautkan kedua tangannya sambil memulai harap-harap baiknya yang disemogakan atas namanya dan nama tim yang dia ketuai.
Diikuti suara guyuran air hujan, Kalaresh pejamkan matanya seraya melantunkan semua doanya dalam hati.
Sudah nyaris satu tahun sejak program pertukaran pelajarnya itu dimulai. Selama itu juga dia disibukkan dengan berbagai kesibukannya mulai dari latihan hingga jadwal-jadwal lainnya yang mengikuti.
Hubungannya dengan Papa sudah membaik.
Hubungannya dengan Shenina sudah membaik.
Kalaresh merasa baik.
"Resh, ke ruang kesehatan sebentar." ujar Jeno membuyarkan fokus Kalaresh.
"Lo kenapa?"
"Bukan gue."
"Terus?"
"Naren."
Kalaresh mengangguk lalu mengekor di belakang Jeno. Rasa cemas dan gundah mulai membuncah di dalam dirinya.
Selama menjadi kapten, Kalaresh terkadang merasa dia terlalu memikul beban yang tidak seharusnya menjadi miliknya. Mungkin karena sudah terbiasa mengetuai timnya sejak lama, Kalaresh kerap merasa bahwa kesehatan anggota timnya adalah tanggung jawabnya. Begitu juga dengan kemenangan timnya dan berbagai hal lainnya yang tidak semata-mata mengatasnakaman dirinya.
Terlihat Naren sedang berbaring dengan wajah yang pucat. Melihat kedatangan Kalaresh, tangannya terulur untuk memohon izin Kalaresh agar dapat bermain di pertandingan beberapa menit lagi.
"Gak, Na." tolak Kalaresh.
"Gue kuat, Resh. Gue coba dulu."
"Mending gak usah dicoba sama sekali, Na?" Kalaresh berusaha meredam amarahnya.
Kalaresh berdecak frustasi. Sejak dulu, Naren adalah anggota timnya yang paling ambisius. Jika Kalaresh adalah jantung tim, maka Naren adalah otaknya. Tim tidak akan berjalan jika tidak ada Kalaresh sebagai pengendali nyawa. Pun jika tanpa Nana, tim akan hilang arah sebab tidak memiliki arah tujuan selagi tetap bernyawa.
"Hujan besar. Lo bisa pingsan kalo maksa main. Lo percaya gak sama temen-temen lo? Tim ini isinya bukan cuma lo, Na. Yang bisa main bukan cuma lo." cecar Kalaresh.
Jeno membuat Kalaresh melangkah mundur dari ranjang tempat Naren berbaring. Jeno tahan satu tangan Kalaresh sebagai tanda bahwa dia harus menahan emosinya dalam menghadapi Naren saat itu.
"Terakhir lo atur formasi gimana, Resh? Kalo bukan kita bek depannya terus mau siapa? Kalo lo jadi kapten yang baik, gue gak akan repot-repot ikut mikirin strategi kaya gini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Okinawa | Remake
FanfictionHere in Okinawa, let's just let the wave washes the pain away.