"Van... Van.... Revano!"
Cowok itu tersentak ketika sebuah cubitan mendarat di lengannya, ia menoleh ke samping dan mendapati Meira sedang menatapnya penuh tanya.
"Kamu kenapa sih dari tadi ngelamun mulu? Aku panggil-panggil juga," gerutu sang pacar yang sedari tadi gagal mendapatkan perhatiannya. "Kamu sakit?"
"Enggak," gumam Revano singkat. "Aku... ngantuk aja," katanta berbohong.
"Ngantuk mah tidur bukan ngelamun. Serem tau nggak, aku kira kamu kesambet."
Revano menghela napas kecil. Mereka sedang berada di dalam sebuah bus yang mengantarkan ke bandara. Pagi itu adalah hari terakhir mereka di Bali, tapi kejadian malam itu benar-benar mengganggu seluruh pikiran Revano.
Apa yang terjadi? Mengapa ia tidak dapat mengingat apapun?
"Liat deh, aku beli ini buat kita tadi," kata Meira mengeluarkan dua buah gelang etnik dari saku jaketnya. "Gelang couple, kata yang jual kalau pakai gelang ini kita nggak akan bisa terpisahkan." Meira berkata dengan riang sambil mengamit tangan cowok itu dan memakaikan gelang tersebut ke pergelangan tangannya. "Lucu kan?"
Revano mengangguk. "Iya, lucu." Namun senyuman cowok itu tidak bertahan lama karena kalimat Meira barusan terasa mengganggunya dan membuatnya sedikit merasa... takut?
Nggak akan terpisahkan....
Ya, Revano tahu penjual itu hanya membual karena ingin dagangannya dibeli, tapi jauh dari lubuk hatinya ia berharap bahwa bualan itu menjadi kenyataan. Revano tidak ingin berpisah dari Meira.
Namun, jika sampai ia benar-benar melakukan itu dengan Arlen. Maka sepertinya, Revano tidak akan memiliki muka lagi untuk berada di samping gadis itu. Meira adalah gadis yang baik, dan Revano hanya akan menjadi berengsek yang mengkhianati pacarnya di belakang.
Cepat-cepat cowok itu menggelengkan kepala, mengusir segala dugaan buruk yang menghantuinya.
Semua akan baik-baik saja, Revano hanya perlu menghindari Arlen agar tidak mengulang kesalahan yang sama dan tercebur ke dalam permainan apapun yang sedang direncanakan cewek itu.
*****
"Hmmm... kok cuma duapuluh tujuh?"
Pak Nanang bergumam sambil memperhatikan daftar siswa di tangannya setelah menghitung jumlah siswa dan siswi yang sekarang sudah ia kumpulkan di depannya sembari menunggu jam keberangkatan.
Ms. Nala, seorang guru Geografi yang juga ikut dalam perjalanan itu memutar mata malas di balik kacamata cokelatnya yang besar. "Please deh, Pak. Kan ada delapan anak yang nggak bisa ikut, dari awal mereka memang cuma duapuluh tujuh."
Pria bernama Nanang Ismail itu mengernyit bingung. "Kok di saya tigapuluh lima?" Lalu pria itu menyipitkan matanya dan ia pun berdecak nyaring. "Woalah, pantesan... ini mah absensi kelas, kok bisa kebawa sih!"
"Pak! Izin ke toilet!" Arlen mengangkat tangnnya.
"Jangan lama-lama, nanti ketinggalan pesawat!"
Arlen langsung berlari diikuti kedua sahabatnya yang berbeda jenis kelamin.
"Lu ngapa ngikut sih, kita tuh mau ke toilet cewek!"
"Yeee gue kan mau ke toilet cowok."
Kedua teman Arlen itu masih saja berdebat sampai kehadiran seseorang membuat mereka bungkam.
Revano tidak mengatakan apapun selain menarik tangan Arlen sehingga ia tidak jadi ke toilet.
"Eh, eh... mau dibawa ke mana itu temen gue!" seru Vallerie sementara Anwar menggigit bibirnya gemas karena baru saja mencium aroma parfum Revano yang lewat di hidungnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/236858586-288-k313441.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story Collection
Cerita PendekCerita pendek. Boleh request cerita dan kasih ide. Lapak untuk sobat halu. 🚧 THE RULES: Komentar yang sifatnya menjatuhkan tanpa memberi saran akan langsung di-BLOCK. Kenapa? Karena aku sering banget nemu komen: "kentang banget thor" di beberapa...