"Buat kapan?" Sururi mengambil kertas yang disodorkan oleh Arif.
"Minggu depan."
Sururi lebih dulu mempelajari kertas berisi tulisan dan desain spanduk, sebelum akhirnya menyanggupi. "Rabu gua antar ke madrasah."
"Nggak usah." Arif langsung menolak. "Biar anak-anak yang ngambil ke sini. Oya, sekalian ...." Arif menyerahkan rantang aluminium bersusun tiga yang dibawanya dari rumah.
"Apa, nih?" Namun Sururi tak langsung menerima uluran rantang dari Arif.
"Ambil." Arif melirik ke arah dipan kecil yang terletak di sudut ruangan. Di mana mpok Tirah sedang duduk mencangkung dengan pandangan mata kosong. "Ada semur jengkol kesukaan lu."
Sururi tak kuasa menolak. "Pakai repot-repot segala. Rantang dua hari lalu juga belom gua balikin. Makasih, Rip."
Arif tertawa sembari mengibaskan tangan. Kemudian beranjak mendekati mpok Tirah yang kini sedang menceracau sendiri.
"Angu angu anguzu billaaaah hi ... angu angu anguzu billaaa ...."
"Sehat, Nyak?" sapa Arif seraya mendudukkan diri di atas dipan. Namun sedikit mengambil jarak agar mpok Tirah tak terkejut.
"Alhamdulillah, Rip," jawab Sururi. "Resep terakhir yang dikasih ama dokter Puskesmas manjur. Nyak kagak sering kumat lagi."
"Alhamdulillah." Arif mengangguk senang. "Sehat terus ya, Nyak."
"Himi himi nas himinas ... sai ton ...." Mpok Tirah sama sekali tak mendengarkan Arif. Terus saja menceracau sendiri.
Ahmad Sururi dibawa oleh mpok Tirah mengungsi ke kampung Koneng, setelah Nasir, suaminya, hilang dalam kerusuhan Priok. Mereka lalu hidup menumpang di rumah seorang kerabat.
Awalnya, kehidupan ibu dan anak itu berjalan normal meski dilanda duka. Mpok Tirah menyambung hidup dengan berjualan sayur keliling. Sementara Sururi tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.
Keadaan berubah semenjak mpok Tirah sakit-sakitan, sering kejang, lalu jatuh pingsan jika sedang kumat. Dokter memvonis epilepsi. Namun yang terjadi lebih dari itu.
Kesadaran mpok Tirah semakin melemah hingga tak bisa mengenali orang lain termasuk anaknya sendiri. Mpok Tirah juga menjadi pemarah, sering mengamuk, melempar barang, bahkan hampir membunuh Sururi dengan pisau dapur.
"Orang gila! Orang gila!" ejek anak-anak tiap kali melewati rumah mpok Tirah.
Pernah suatu hari, Sururi tak bisa masuk sekolah sebab mpok Tirah mengamuk lalu naik ke atas genting. Seharian penuh Sururi berusaha membujuk enyaknya agar mau turun, tapi selalu gagal. Jelang malam, barulah mpok Tirah mau turun digendong oleh Sururi.
"Kopi, Rip," seruan Sururi sontak membuyarkan lamunan. Ketika menoleh, di atas meja telah terhidang segelas kopi yang menguarkan aroma harum.
"Sekalian makan?" tawaran Sururi membuat Arif tertawa.
"Udah kenyang makan di rumah." Kemudian Arif beringsut menuju kursi. Memperhatikan Sururi yang sedang membuka rantang satu per satu.
"Mutia pakai repot-repot segala." Sururi menggeleng melihat isi rantang. Di sana ada pepes ikan patin, sup kacang merah, dan semur jengkol.
Arif tersenyum tipis. "Suapin enyak lu dulu."
Sururi mengangguk. Mulai mengisi piring dengan sup kacang merah dan pepes ikan patin. Namun sebelum mendekati dipan, Sururi lebih dulu berkata. "Besok kagak usah ngirim lagi, Rip. Malu gua ama lu."
Arif tak menjawab, tanpa sadar menghela napas panjang. Pikiran Arif kembali melayang ke masa silam. Saat ia dan Sururi duduk sebangku di sekolah, mengaji di surau, bermain bersama.
Mereka berpisah selama 7 tahun ketika ia mondok di Ponorogo. Begitu lulus dan pulang ke Jakarta, langsung mengajar di Madrasah Aliyah, kemudian mempersunting Mutia.
Sedangkan Sururi tak tamat STM, kerja serabutan, dan belum menikah. Pernah Sururi menjalin hubungan yang cukup serius. Waktu itu, Sururi sedang mengambil kerja borongan sebagai drafter. Seringkali menyambangi rumah pak Neswan untuk mengambil materi dan menyerahkan gambar kerja, mempertemukan Sururi dengan seseorang.
"Gua minder, Rip," ujar Sururi yang sengaja datang menemuinya. "Dia cakep, pinter, kaya, dari keluarga terpandang. Sementara gua? Blangsak begini."
Kisah Sururi dan kemenakan pak Neswan, harus terhenti di tengah jalan terhalang restu orang tua. Sejak saat itu, ia tak pernah mendengar Sururi bercerita tentang seorang gadis lagi.
"Gua udah nggak mikir kawin, Rip," ucap Sururi suatu ketika. "Hidup gua buat ngerawat enyak. Kasihan yang jadi istri gua nanti, punya suami nggak berpendidikan, kerja serabutan, harus ngerawat mertua yang sakit. Nyiksa anak orang namanya."
"Bis bismi bismila ...." racauan mpok Tirah membuat konsentrasi Arif kembali ke ruang tamu rumah Sururi.
"Ha. Makan dulu," bujuk Sururi sembari menyuapkan makanan ke mulut mpok Tirah. Namun wanita tua itu terus saja meracau meski dengan mulut penuh makanan.
"Mbismi wahi ...."
"Aromanya gua kenal, Sur." Arif mengalihkan pandangan ke atas meja. Lalu meraih gelas kopi yang masih mengepulkan uap panas dan menyesapnya.
"Kopi Gayo punya," jawab Sururi sambil terus menyuapi mpok Tirah. "Dibawain mpok Ella, katanya dari mak Agam."
Arif manggut-manggut. Karena di rumahnya juga terdapat dua kantong kopi Gayo dari orang yang sama. Kemudian suasana berubah sunyi. Hanya terdengar suara mulut mencipak mpok Tirah yang sedang mengunyah makanan.
"Lu nggak nyoba ambil tawaran pak camat ama dinas sosial?" tanya Arif usai Sururi tuntas menyuapi mpok Tirah. "Nyak lu bisa dirawat sama ahlinya di rumah sakit. Elu juga bisa ngelanjutin hidup."
"Pernah dulu." Sururi menggeleng. "Malah nambah masalah. Nyak ngamuk trus kabur. Lebih bahaya kalau nggak ketemu."
Arif mengangguk mengerti.
"Nyak gua nggak gila, Rip." Sururi mengembuskan napas panjang. "Nyak begini karena terlalu banyak menyimpan luka. Hilangnya babe yang paling dalem. Rasa sakit, kecewa, marah, tapi nggak bisa berbuat apa-apa numpuk jadi satu."
"Pelajaran berharga buat gua," sambung Sururi. "Luka kehidupan bukan untuk disimpan, ditumpuk, ditekan, apalagi diabaikan."
"Elu lebih paham dah, Rip." Sururi kembali mengembuskan napas panjang. "Tentang konsep takdir. Gua tinggal menjalani dengan sebaik-baiknya, gitu kan?"
Arif mengangguk. "Berkah idup lu, Sur. Birrul walidain luar biasa. Nggak semua orang diberi kesempatan dan mampu."
***
Catatan :
Birrul walidain : bakti kepada kedua orang tua.
Bab 2 masih menceritakan sudut pandang dari keluarga Arif-Mutia ya, readers tersayang 😉. Semoga tidak bosan.
Ingatkah siapa pak Neswan? 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
All Of The Stories
General FictionTempat untuk menayangkan bab-bab awal novel yang rilis di platform berbayar atau novel dalam proses penerbitan. 1. Jika Dan Hanya Jika (Bab 1-7) 2. Istana Pasir (Bab 1-5) 3. Selagi Cinta Masih Ada (5 Bagian)