5. Aswin Rausan

352 50 4
                                    

Bagi Aswin, Maya adalah cinta pertamanya. Tidak, bukan jatuh cinta semenjak mereka berdua masih kecil atau saat Maya dipanggil Rana dan memiliki bobot sebesar gajah. Tetapi saat ia pulang liburan ke Indonesia di grade 11, dan menemui Maya telah bertransformasi menjadi gadis dalam mimpinya.

Ceria, semampai, berpenampilan menarik, nyambung diajak bicara, dan cantik tentu saja. Persetan dengan masa lalu Maya yang pernah obesitas dan menjadi bulan-bulanan. Ia telah jatuh cinta. Titik.

Mereka menjalani hubungan sama seperti pasangan kekasih remaja LDR yang lain. Saling rindu, tak sabar ingin bertemu, membicarakan banyak hal, menuliskan rencana di masa depan. 

Awalnya, Aswin tak menganggap serius ketika suatu hari di jam tiga pagi waktu Melbourne, Maya meneleponnya sambil histeris.

“Aku benci Ayah, Bae! Aku benci Ibu! Aku benci semua! Nggak ada seorang pun di sini yang bisa ngertiin aku!”

“Hey, hey? What the hell is going on, Darl? Ini jam berapa?”

“Aku benci Bian! Aku benci Digda! Aku benci semuanya!” Maya mulai menangis sambil menyebut nama dua adik lelakinya. “Bae, I don’t wanna die, but I don’t wanna live!”

“Aku kabur ke Melbourne aja ya, Bae?” rengek Maya tanpa memberi kesempatan pada Aswin untuk menanggapi. “Ketemu sama kamu. Cuma kamu yang bisa ngertiin aku. Aku benci tinggal di sini!”

“Darl, honey … yang harus kamu lakukan sekarang adalah … tenang.”

“Aku nggak bisa tenang!” bentak Maya emosional. “Aku mau kabur! Atau kalau nggak mati sekalian! Nggak ada yang meduliin perasaanku! Nggak ada yang ngertiin aku! I just wanna die ….”

“Oke.” Aswin terpaksa membuka mata dan melupakan keinginan untuk tidur lagi. “Kamu cuma lagi emosi. Sekarang … kamu mau cerita apa? Aku siap mendengarkan.”

Keinginan Maya pergi ke Melbourne akhirnya terkabul. Tapi bukan karena kabur, melainkan melanjutkan kuliah di kampus yang sama dengannya. Dan Aswin tak pernah mendapati gadis itu sebegitu emosional seperti saat meneleponnya pagi buta.

“Darl, summer tahun depan, kita ke Afrika yuk,” ujar Aswin di suatu hari yang cerah, secerah hubungan mereka yang teramat manis.

“Hah? Afrika? Apa menariknya di sana? Kamu katanya pingin ke Nikaragua, Kosta Rika, Panama,” sergah Maya. “Aku udah nyari info nih, apa aja yang bisa kita jelajahi di sana.”

“Aku lebih milih ke Afrika dulu, Darl. Ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri, migrasi ribuan rusa dan zebra di Tanzania,” jawab Aswin mantap. “Ingin melihat cheetah liar di Kenya, gorilla di Uganda.”

Ia lantas mengembuskan napas panjang seraya tersenyum. “Aku juga ingin melihat habitat asli binatang favoritku di masa kecil.”

“Singa?” tebak Maya antusias. 

Aswin mengangguk senang sebab sang kekasih mengetahui kesukaannya.

“Ayo!” tutur gadis itu berbalik semangat. “Kayaknya seru. Kamu mau pergi kapan rencananya?”

Mereka telah merencanakan segalanya dengan matang. Trip mengelilingi benua Afrika yang eksotis. Tapi sebelum benar-benar terlaksana, Maya kembali menunjukkan sisi emosional seperti saat histeris meneleponnya di pagi buta. Bahkan lebih parah. 

Tanpa alasan jelas, tiba-tiba sang kekasih memukuli profesor linguistik yang sedang berbicara dengannya di tengah jalan.

Saat itulah Aswin menyadari, ada sesuatu dalam diri Maya yang sulit dikenalinya. Sesuatu yang asing, jauh, tak terjangkau. Ia bisa saja pergi tanpa pernah menoleh lagi. Tapi hati kecil menahannya berulang kali. Ia benar-benar telah jatuh cinta dengan Kirana Maya, apa pun keadaannya.

All Of The StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang