Yuri Hanggarawan

66 12 2
                                    

Sita tersenyum menanggapi obrolan para gadis muda berusia awal dua puluh tahunan itu. Ia tak terkejut mendapati mereka berbicara seperti ini padanya. Sosok Yuri yang santai dan dekat dengan para staf apa pun jenjangnya, membuatnya harus siap mengimbangi pembawaan yang ditampilkan. Ia tak merasa terganggu meski kebanyakan staf wanita selalu mengaitkan segala sesuatu dengan Yuri. Karakter baik ditambah karier moncer dan wajah sedap dipandang, tentu menjadi sumber penarik utama bagi lawan jenis. Ia tak menafikkan.

“Saya izin dulu ke Bapak ya,” jawab Sita diplomatis. “Kalau boleh, nanti saya masuk grup.”

“Wah?” Mata Dinara membulat. “Kalau izin sama Bapak, sama aja bohong, Bu.”

“Iya.” Titis menggeleng. “Ini grup underground, Bu. Alias no radar.”

“Tempatnya ghibah, apalagi.” Tiba-tiba terdengar suara Novanti mendekat.

“Oh, bukan begitu.” Wynne tak sepakat. “Tepatnya … wadah untuk mencari problem solving, Bu. Itu baru bener.”

“Ibu, punten.” Kinkin, gadis berkulit putih yang sedari tadi berdiam menikmati hidangan, mendadak ikut dalam obrolan. “Tadi saya lihat di pinggir taman ada bunga Edelweiss, itu Ibu menanam sendiri?”

“Edelweiss bisa ditanam?” Titis bergumam sendiri.

“Bukannya cuma ada di puncak gunung?” Wynne juga keheranan.

“Oh, iya.” Sita tersenyum lebar. “Baru berhasil itu, belum lama mekar. Sebelumnya gagal terus di persemaian. Ini saya baru tahu media tanam dan cara merawat yang tepat setelah belajar dari komunitas berkebun.”

“Ibu dapat bibitnya dari mana, Bu?” Kinkin semakin tertarik. “Apa Ibu mengambil dari pegunungan lalu ditanam?”

Sita menggeleng. “Saya beli ke kelompok tani di kawasan Bromo, waktu diajak Bapak ke sana. Tapi nggak perlu jauh-jauh pergi, di marketplace juga ada.”

“Oya?” Kinara, Titis, Wynne, dan Dinara merespon bersamaan.

“Nah, kan.” Novanti menimpali, namun dengan nada kurang mengenakkan. “Wadah problem solving udah nyampai topik tentang benih Edelweiss yang dijual di marketplace belum? Yang dibahas cowok melulu, gimana mau pinter.”

Sita tersenyum seraya kembali menggeleng. “Kalau bukan hobi, memang informasi tentang pembudidayaan Eelweiss cukup terbatas. Saya juga nanam karena Bapak yang mau.”

“Oiya.” Wynne menjentikkan jari. “Bapak kan waktu mudanya ikut Mapala ya, Bu. Makanya nanam Edelweiss.”

“Bukan cuma itu sih, alasan Bapak mau nanam.” Sita tiba-tiba tersipu meski tak ada yang menggodanya. “Lebih karena untuk mengenang, kalau dulu … Bapak melamar saya pakai bunga Edelweiss.”

“Adududuh ….”

“Uwunya ….”

“Romantis banget ….”

Gadis-gadis di depannya membelalakkan mata lebar-lebar dengan ekspresi takjub.

“Proposenya di puncak gunung juga, Bu?”

“Lagi mendaki berdua?”

“Ribuan meter di atas permukaan laut ….”

Sita semakin tersipu, kali ini campur merona. “Enggak, Bapak melamarnya di rumah orang tua saya sepulang dari naik gunung.”

“Bu?” Tiba-tiba Dinara antusias menyeruak ke tengah-tengah. “Ibu bersedia jadi narasumber saya nggak, Bu?” Sejenak Dinara tersipu. “Saya … lagi buat novel romantis.”

“Dia penulis online yang nyamar jadi banker, Bu,” sahut Novanti dari ujung meja.

“Sepertinya … kisah cinta Ibu dan Bapak unik, romatisnya lain daripada yang lain.” Dinara semakin antusias. “Kalau Ibu bersedia, kapan saya bisa menyerahkan daftar kuesioner ke Ibu?”

All Of The StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang