2. Pada

53 12 0
                                    

Sita merapikan tumpukan baju di dalam suitcase berwarna hitam sembari sesekali melirik Yuri yang tengah mengenakan kemeja dengan terburu-buru. Hatinya gelisah ingin menceritakan sesuatu, namun terhalang keraguan demi melihat ketergesaan yang tampak. Sita lantas menunggu, di menit ke berapa kiranya pria yang tengah diburu waktu itu keliru memasangkan kancing.

“Aduh!”

Tepat seperti tebakannya, keluhan tertahan keluar dari mulut Yuri yang membalikkan badan ke arahnya.

“Tolong benerin, Ay,” pinta pria dengan rambut setengah basah itu sembari menunjuk kemeja yang telah terkancing namun panjangnya tak simetris, sebab salah memasangkan lubang kancing.

Sita lekas meninggalkan isi suitcase yang masih berantakan. “Mas kalau buru-buru pasti begini.”

“Aku cuma punya waktu dua jam untuk sampai di Jakarta,” gumam Yuri sambil memakai jam tangan, menyisir, lalu menyemprotkan parfum. Tiga aktivitas sekaligus yang sanggup dilakukan dalam hitungan detik.

Pagi ini, Yuri baru tiba di rumah tepat sebelum azan Subuh berkumandang. Tiga hari perjalanan dinas ke Denpasar seharusnya berakhir di Jakarta sebelum berlanjut ke Melbourne. Namun waktu tersisa justru dimanfaatkan oleh Yuri untuk pulang ke Bandung.

“Aku kangen sama anak-anak.” Begitu alasan yang terdengar melalui sambungan ponsel ketika semalam, Yuri memberitahukan rencana mendadak pulang ke rumah terlebih dulu.

Sita bermaksud mencegah agar sang suami tak mengalami kelelahan. Sebab tiket pesawat yang tersedia hanya untuk rute Denpasar – Yogya, sisanya ditempuh melalui perjalanan darat. Padahal lusa, Yuri sudah harus terbang ke Melbourne. Terlebih tak ada hal penting yang mengharuskan sang suami pulang ke rumah di sela kepadatan jadwal.

“Ketemu anak bukan hal penting?” Suara di seberang terdengar meninggi. “Aku kangen sama Agra dan Dante. Aku ingin ketemu mereka sebelum pergi lagi.”

Jika nada bicara Yuri berubah kaku, Sita tak bisa berbuat apa-apa selain menyetujui keinginan. Meski sebenarnya ia tak memiliki persiapan jika Yuri pulang ke rumah. Pola pikirnya terlanjur diatur selama rentang seminggu harus mandiri, menyelesaikan semua persoalan sendiri. Namun karena Yuri akhirnya pulang, mau tak mau ia harus menceritakan keadaan yang sebenarnya.

“Mas.” Sita berhasil memperbaiki pasangan kancing dengan lubang yang sesuai. Meskipun masih ragu, ia berlekas sebab waktu Yuri terbatas. “Kemarin ad__”

“Panca datang sama siapa?” Pria yang kini sedang memeriksa isi ponsel itu justru bertanya.

Sita menelan ludah begitu menyadari fokus mereka berbeda. Ia ingin mengungkapkan masalah, tapi Yuri sepertinya memiliki pemikiran lain.

Ialah Panca, orang yang datang bertamu di waktu sepagi ini merupakan salah satu pengelola Aksata Citraloka. Layanan media informasi sejarah dan kasus tak terpecahan yang dibangun Yuri beserta kawan-kawan semenjak masih berstatus mahasiswa.

“Sendiri,” jawab Sita kembali menelan ludah karena Yuri mengecup keningnya sekilas sebelum beranjak.

“Kamu yang temuin dia, ya. Bilang, aku lagi buru-buru. Kalau mau ngutang, kasih sesuai alokasi kesepakatan kita tentang biaya tak terduga. Aku percaya sama kam__”

“Mas?” Sita mengejar Yuri ke depan pintu kamar, merasa kesempatan untuk membicarakan masalah semakin menipis. “Belum tentu Panca datang ke sini mau pinjam uang, mungkin ada hal penti__”

“Hal penting apa yang jadi motif bertamu sepagi ini selain ngutang?” Yuri terkekeh sembari meraih gagang pintu. “Kayak nggak ada waktu lain aja. Mana nggak bikin appointment dulu. Kalau begini kan aku yang repot bagi waktunya.”

All Of The StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang