2. Kirana Maya

202 39 10
                                    

Kirana Maya lahir dari keluarga terpandang, keturunan ningrat Gandabagja. Kakeknya salah satu pendiri perusahaan minyak milik negara. Ayahnya pemilik perusahaan ritel dan otomotif terkemuka. Ia lahir dengan membawa sendok emas. Tidak mengenal kekurangan dan keterbatasan. Segala yang diinginkan bisa diperoleh semudah membalik telapak tangan. 

Sejak kecil, Rana -panggilannya di keluarga- yang merupakan anak sulung dari tiga bersaudara, sudah diajari hidup serba mewah. Apa pun yang diinginkan pasti terkabul. Ia terbiasa memperoleh hasil tanpa pernah mengetahui proses. Rentang usia cukup jauh dengan kedua adik laki-laki membuat kasih sayang orang tua tumpah ruah padanya. 

Di usia 9 tahun, Rana mengalami obesitas tingkat 2. Berat badannya mencapai 70Kg dengan tinggi 140Cm. Penampilannya yang mencolok sering membuatnya merasa seperti gadis raksasa bertubuh gorila. 

Ia mendapat perundungan di sekolah, di tempat les, maupun di lingkungan pertemanan karena kondisi tubuhnya. Hal itu diperparah dengan ketidakmampuannya membela diri. Terbiasa diladeni dan dipenuhi segala kebutuhan ternyata membonsai insting bertahannya. 

Rana tak mampu melawan. Ia hanya bisa terdiam dan menangis mendengar semua ejekan. Namun tanpa disadari, menyerap setiap ujaran negatif yang dilontarkan padanya seperti spons.

“Gajah binatang yang amat besar, sebesar Rana. Hahaha!”

“Kamu beban banget, sih! Punya badan segembrot ini!”

“Rana, kamu kayaknya pas bayi ketuker di rumah sakit, ya? Soalnya gendut, item, jelek. Hahaha!”

“Bukan ketuker, tapi nemu di bawah pohon salak. Hahaha!”

“Rana badannya kegedean kayak karung beras, ngabis-abisin tempat ajah!”

“Rana … nduuuuut!”

“Rana, kata Mama aku, kamu keturunan buto ijo ya? Kok bisa segembrot ini, sih?”

“I’m a big big girl, in a big big world ….”

Rana mengadu, tetapi yang didapat hanyalah pengabaian. Sang ibu sedang berkutat dengan masalahnya sendiri. Waktunya habis untuk bergaul di kalangan sosialita sekaligus makan hati menghadapi tingkah polah suami yang tak setia. Intrik khas keluarga kalangan berduit.

Rana kecil tumbuh tak hanya bergelimang kemudahan, tapi juga berlumuran pengabaian dan cemoohan. Ia tidak pernah merasa aman dan nyaman dengan diri serta lingkungannya. Ia kesulitan mengungkapkan perasaan sebab terbiasa memendam permasalahan seorang diri. Ia juga sulit berkomunikasi dengan orang lain dan melabeli diri dengan hal-hal buruk.

Ketika duduk di bangku SMP, Rana sama seperti ABG lain yang mulai merasakan ‘cinta’. Ia ‘jatuh cinta’ pada teman sekelas, namanya Aswin. Cowok jangkung berbahu bidang yang gemar membawa kamera ke mana pun pergi. Termasuk ke sekolah.

“Rana, hadap sini!”

“Nggak mau!”

“Aku mau foto kamu!”

“Nggak boleh!”

“Kenapa?”

“Karena aku gembrot! Udah sana pergi! Kamu cuma mau ngejek!”

Aswin yang mengenakan seragam biru putih dengan celana pendek sebatas lutut menggeleng. “You’re beautiful, Rana! Foto, ya?” 

Di kehidupan Rana, Aswin Rausan bukan orang asing baginya. Mereka telah saling mengenal sejak masih balita. Atau bahkan semenjak bayi? Ayah dan ibu mereka berteman baik. Begitu pula kedua kakek nenek. Kakek Aswin yang mantan Menteri pada masanya, bersahabat karib dengan kakek Rana. 

“Rana, cheese!” teriak Aswin tiba-tiba ketika mereka berpapasan di lorong menuju perpustakaan. “Sekali lagi, Rana!”

“Nggak mau!”

All Of The StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang