4. Lintuh Menggenggam Bara

575 164 10
                                    

"Mantu macam apa jam segini belom bangun!" teriakan nyaring ibu mertuanya menggerus kesadaran Mumun yang sedang menyetrika di dalam kamar. "Bini pemalas! Bisanya ngabisin duit laki!"

Mumun bergeming meski gerutuan dan sindiran pedas ibu mertuanya terus berlanjut hingga menggetarkan dinding kamar yang berbahan tripleks. Tangannya tetap lincah menggilas kemeja lengan panjang milik Mardata selicin mungkin, sama sekali tak menghiraukan teriakan yang pastinya memanaskan telinga.

"Nyak keras kepala, galak." Mumun masih ingat kalimat pertama yang diucapkan Mardata sebelum mengajaknya berkunjung ke rumah, belasan tahun silam. "Omongan nyak nyelekit, pedes, sukanya bentak-bentak."

Waktu itu Mumun hanya tersenyum. "Segalak apa sih, Bang?" Sambil memandangi dua kotak kue bolu buatannya sendiri. Perasaan Mumun terlampau diselimuti kegembiraan. Mumun pikir, ibu mertua mana yang takkan luluh hatinya mendapat perlakuan semenyenangkan ini dari calon menantu. Dibawakan kue bolu dan satu stel kebaya berserat kain halus yang dibelinya dari uang gaji sendiri di Tanah Abang.

"Lu kudu siap sakit ati." Mardata menatapnya ragu. "Kagak ada nyang tahan ama kelakuan enyak. Babe aja milih kawin lagi."

Mumun masih tersenyum. Sikap penuh kasih sayang dan tanggung jawab Mardata selama menjalin kasih, lebih dari cukup untuk menguatkan hati bahwa Mardata adalah sosok calon suami yang baik. Mumun tak membutuhkan apa-apa lagi. Sama sekali tak merisaukan watak enyak Mardata yang dikabarkan keras kepala, galak, dan tak ada pawangnya. Mumun berkeyakinan jika bisa menjaga perilaku, maka enyak Mardata tak akan bersikap semena-mena terhadapnya.

Akan tetapi Mumun lupa bahwa dunia sesungguhnya tak sesederhana angan. Mumun juga belum memahami jika perputaran roda kehidupan amat sanggup menjungkirbalikkan bayang-bayang keindahan menjadi bara kebencian hanya dalam sekejap. Menampakkan keburukan yang tak bisa dihindarkan meski sekuat apa usaha.

Pun dengan sindiran, bentakan, dan cacian, sudah Mumun terima sejak hari pertama resmi dipersunting Mardata. Namun meski telinga memanas dan hati bergemuruh menahan gejolak amarah, Mumun senantiasa berjibaku mengabaikan. Semua ucapan ibu mertuanya ditelan bulat-bulat asalkan Mardata tetap bersikap baik dan menyenangkan terhadapnya. Mumun sanggup menjalani semua walau hati remuk redam tersayat sembilu.

"Belom bunting juga, Mantu? Kapan mao ngasih gua cucu?"

"Kalau begini caranye,mending gua balikin dah lu, kagak bunting-bunting. Noh, si Weny bentar lagi brojol. Padahal kawin duluan elu!"

Tiap kali Mardata memergoki air mata Mumun menetes, detik itu pula pecahlah pertengkaran antara ibu dan anak. Namun bukannya senang telah memenangkan hati Mardata, perasaan Mumun justru semakin tak menentu manakala mendengar Mardata membentak-bentak sang ibu hanya demi membela dirinya. Seperti ada sesuatu yang keliru dan tak seharusnya, tapi tak tahu itu apa.

"Kita ngontrak aja, Bang." Mumun akhirnya menyerah dengan keadaan. Mulut pedas sang ibu mertua benar-benar sudah keterlaluan. "Aku masih punya simpanan uang tabungan dari kerja di pabrik dulu."

Namun pinta Mumun justru menyulut bara pertengkaran yang lebih dahsyat.

"Gua nggak mungkin ninggalin enyak!" Mardata muntab. "Dari lima anak, kagak ada satupun yang mau ngerawat enyak. Cuma sisa gua, Mun!" Mardata lalu mendiamkannya selama berhari-hari.

Ya, tentu, dengan perangai seburuk ibu mertuanya, sangat bisa dipastikan tak seorang anakpun bersedia merawat. Sebab yang didapat lebih banyak sakit hati dibanding bayangan indah iming-iming pahala yang kelak menanti.

All Of The StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang