Pagi

91 13 1
                                    

“Itu, yang barusan di ruang tamu, temennya Yuri?” tanya Viona sembari berpamitan.

Sita mengangguk.

“Kena masalah apa lagi si Yuri?”

“Kena masalah apa lagi?” Sita mengernyit mendengar kata lagi. “Memang sebelumnya, Mas Yuri ada masalah apa, Vi?”

Viona tersenyum dibuat-buat. “Oke, forget it. Gue asal njeplak.”

Sita tak lagi bertanya meski masih memikirkan maksud dari ucapan Viona. Di hari yang masih sepagi ini, ia sudah cukup lelah menghadapi berbagai masalah yang datang.

“Maaf, Neng, saya nggak menyangka jadi panjang begini.” Wa Asih berkali-kali meminta maaf sembari bersujud, begitu Sita datang usai mengantar Agra ke sekolah.

“Jangan begini, Wa.” Sita membantu Wa Asih agar duduk di sofa. Tak lagi bersimpuh di hadapannya seperti seorang pesakitan.

Bagaimanapun, Wa Asih masih terbilang saudara jauh dengannya. Kabarnya, nenek Wa Asih merupakan saudara sepupu beda kakek dari mantan istri kakek Mama. Entahlah, Sita memijat kening yang terasa pegal tiap kali mengingat urut urutan silsilah yang mengaitkannya dengan Wa Asih. Padahal, kisah inilah yang menjadi alasan utama Yuri bersedia mempekerjakan Wa Asih dan Mang Dusep di rumah mereka. Karena masih terhitung keluarga. Menganggap mereka bisa dipercaya, kalau pun ada masalah akan mudah penyelesaiannya. Meski pada kenyatannya justru lebih rumit dan ruwet.

Persoalan tentang Wa Asih lah yang hendak dibicarakannya dengan Yuri di kamar tadi. Persoalan yang menjejali pikirannya sejak dua minggu terakhir. Tentang kecurigaan jika Wa Asih ada main dengan pria lain. Masalah sensitif menyangkut rumah tangga yang jika diketahui Yuri, sudah pasti tidak ada ampun. Padahal Mama sudah mewanti-wanti saat pertama kali ia menjemput Wa Asih dari Cicalengka.

“Jangan sampai diberhentikan, kasihan hitung-hitung menolong keluarga jauh.”

“Belum juga kerja, udah minta jangan diberhentiin.” Sita ingat betul, ia masih bisa menjawab permintaan khusus Mama. Tanpa terbersit keinginan untuk mencari tahu, mengapa Mama sampai berpesan demikian. Kalau bukan karena Wa Asih yang bermasalah dalam tanda kutip.

Sebenarnya, selama ini pekerjaan yang menjadi tanggung jawab Wa Asih selalu diselesaikan dengan baik. Orangnya cekatan, apik, sekali diajari sudah memahami tugas tanpa harus diingatkan. Namun ada satu kekurangan yang cukup mengganggu, Wa Asih kurang bisa dipegang ucapannya.

Sita baru menyadari setelah sebulan Wa Asih bekerja. Waktu itu mereka masih tinggal di town house di Dago, ia kerap membongkar kebohongan yang dilakukan Wa Asih. Bukan tentang uang memang, namun hal-hal menyangkut ucapan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kalau Yuri bilang, mencla mencle (1).

“Sekarang saya mau dengar yang sejujurnya.” Sita tak ingin membuang waktu. Kepalanya sudah terlalu mumet menampung semua permasalahan. Ia ingin segera membuat janji temu dengan Tami, menjemput Agra di sekolah, lalu pergi ke Rancaekek. Mengunjungi keluarga besar sepupu Mama yang tinggal di sana. Termasuk menengok Bi Imas, adik ipar sepupu Mama yang sedang sakit.

“Kalau Wa Asih berbohong, saya nggak bisa bantu mempertahankan keberadaan Wa Asih di rumah ini,” sambung Sita tegas. “Wa Asih tahu sendiri gimana kalau Mas Yuri marah. Dan Mas Yuri paling membenci perselingkuhan.”

Sayangnya, Wa Asih sama sekali tak mengakui perbuatannya. Wanita berusia hampir 50 tahun itu berdalih jika ia dan Aceng Supriatna hanya berteman dan tidak lebih.

“Gimana Mang Dusep?” Sita beralih pada pria yang sedari tadi diam menunduk.

Mang Dusep tipikal nerimo. Pria itu mengiyakan seluruh ucapan Wa Asih padahal pertengkaran mereka sampai terdengar oleh Sundari, baby sitter yang bertugas menjaga anak-anak. Dan Sundari tak mungkin berani berbohong padanya.

“Gini aja.” Sita semakin puyeng karena Wa Asih terus menyangkal. “Kita tunggu Mas Yuri pulang dari Melbourne dan kita duduk berenam. Mas Yuri, Saya, Wa Asih, Mang Dusep, Aceng Supriatna dan Icih Ala yang tadi mengamuk.”

“Wah, jangan Neng.” Wa Asih kembali bersimpuh memohon-mohon. “Jangan diamprokan di depan Mas Yuri. Jangan pokoknya, Neng. Saya mau kita duduk bersama tapi nggak ada Mas Yuri.”

“Udah Wa, saya pusing.” Sita memijat pelipis yang berdenyut. “Terserah Wa Asih mau ngaku sekarang atau nanti nunggu Mas Yuri pulang. Saya udah cape,” keluhnya seraya beranjak dan berkata sambil lalu. “Sebentar lagi saya jemput Agra, terus ke Rancaekek.”

Sita tak menghiraukan Wa Asih yang menghiba agar masalah diselesaikan tanpa Yuri. Ia memilih pergi ke ruang House of Sabria yang terletak di samping garasi. Dua orang petugas pengiriman belum selesai menurunkan barang. Ia lantas meminta Mang Dusep untuk membantu sambil menjelaskan di mana posisi barang-barang tersebut harus diletakkan. Kemudian menghampiri Dante yang sedang bermain bersama Sundari di taman.

“Ibu,” bisik Sundari dengan wajah ragu ketika Sita sedang bermain tebak jari dengan Dante. “Saya mau mengajukan resign.”

Ia yang sudah kehabisan tenaga menghadapi masalah bertubi-tubi di pagi hari hanya melongo. “Kenapa?”

Sundari yang usianya belum genap 20 tahun, namun sudah menjanda dan memiliki seorang anak balita itu menggeleng. “Maaf, Ibu, saya bukannya nggak betah di sini. Ibu dan Bapak baik banget sama saya, sama Alvaro.” Sundari menyebut nama anaknya sambil melirik ke arah dapur takut-takut. “Tapi saya nggak tahan sama si itu, Bu.”

Sita semakin lemas mendengar alasan Sundari berhenti bekerja. “Kalian kenapa? Berantem lagi?”

“Saya lebih baik resign daripada makan hati punya teman kerja kayak si itu,” jawab Sundari dengan wajah menyesal. “Kembalikan saya ke Yayasan, Bu. Nanti saya bantu carikan suster yang baik. Pokoknya buat Ibu mah saya usahakan.”

Sita tak bisa menjawab permintaan mengejutkan Sundari. “Nunggu Pak Yuri pulang ya, Sun. Keputusan di tangan beliau, bukan saya.”

Ia buru-buru menelepon Tami untuk curhat, namun tak kunjung diangkat. Mungkin karibnya itu sedang sibuk dengan aneka tanaman jualannya. Ia lantas berkemas, bermaksud menjemput Agra lebih awal. Mungkin dengan duduk-duduk bersama ibu-ibu penjemput yang lain, ia bisa sedikit melupakan masalah.

Namun ketika hendak mengeluarkan mobil dari garasi, ia dikejutkan oleh keberadaan nenek renta yang menghalangi lajunya. Sontak ia memekik hingga Dante menoleh keheranan.

“Mamoy? Mamoy?”

“Ma! Ma! Ulah didinya, bilih katabarak!” (2)  Sundari berusaha menghalau sang nenek agar minggir. Namun Nenek tersebut justru mengangkat setumpuk keset kain perca sembari berjalan memutar.

“Neng, kumaha kekesed Ema, cios ngagaleuhna?” Nenek renta mengetuk-ngetuk kaca samping kanan sambil memperlihatkan keset kain perca. “Bantosan digaleuh hiji mah, Neng. Kanggo emam dinten ieu.”

Sita menggeleng dengan kepala pening. Begitu Sundari berhasil menghalau sang Nenek agar minggir, ia bergegas menginjak gas melajukan kemudi.

“Mamoy, kasihan Nene!” Dante menunjuk-nunjuk ke belakang di mana Sundari terlihat menyuruh Nenek renta keluar dari halaman. “Kasihan, Nene!”

Sita menghela napas panjang sembari bergumam pelan. “Nggak apa-apa, sayang. Nanti Bi Sun yang beli ke Nenek, ya.”

Sementara di halaman rumah, Sundari terus menghalau Nenek renta yang masih berusaha menjual keset.

“Punten, Mak, Sun teu gaduh acis.” (3)  Sundari menuntun setengah mengusir sang Nenek agar keluar dari halaman rumah majikannya. “Sun moal meser kekesed. Di bumi ieu tos seueur kekesed, malihan seueur teuing. Kekesedna oge sarae, henteu butut siga eta.” (4)

***

Keterangan :

(1) : Tak bisa dipercaya

(2) : Mak, Mak, jangan di situ nanti ketabrak

(3) : Maaf, Mak, Sun nggak punya uang

(4) : Sun nggak akan beli keset. Di rumah ini sudah banyak keset, kelebihan malah. Kesetnya juga bagus-bagus, nggak butut seperti itu

All Of The StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang