3. Jangan Khawatir

164 42 10
                                    

Aswin terperanjat ketika Maya tiba-tiba menerjang masuk ke ruang meeting hanya untuk menghampiri gadis berkemeja olive green lalu memukulinya dengan membabi buta.

“Darl? Jangan! Hentikan! Apa yang kamu lakukan? Darl!”

“Siapa kamu? Ngapain di sini sama suami dan anak saya? Ada urusan apa kamu di sini!”

Nilam yang tak mengira bakal mendapat serangan, serta merta tersungkur ke atas meja. Siku kanannya menyenggol cangkir kopi dan menumpahkan isinya. Genangan kopi panas yang belum lama keluar dari coffe maker sontak membasahi lengan kemeja serta sekitaran tulang selangkanya.

“Hhhh.” Nilam meringis ketika kulitnya bersentuhan dengan air kopi panas. 

“Berani kurang ajar kamu!” Namun Maya tak menghentikan serangannya. Ia terus memukuli punggung Nilam hingga gadis itu memekik tertahan. “Mau merebut suami saya, hah!”

Sedangkan Ava mulai menangis melihat keributan yang terjadi. Dan Aswin masih berupaya menarik Maya agar tak lagi memukuli gadis berkemeja olive green.

“Please, Darl. Hentikan kegilaan ini sekarang juga! Kamu akan melukai orang yang nggak bersalah!”

“Nggak bersalah kamu bilang?” Maya menghentikan jambakannya ke rambut Nilam. Ia membalikkan badan dan beralih menyerang Aswin dengan memukuli dada pria itu. “Kamu lebih membela orang antah berantah ini daripada istrimu sendiri?”

Nilam yang terkejut dan ketakutan dengan kejadian tak terduga, hanya bisa terpaku melihat wanita cantik berpenampilan elegan memukuli dada bosnya dengan membabi buta. Ia sampai tak mengingat jika di dalam ruangan masih ada Ava. Bocah perempuan itu berdiri mematung di sisi proyektor sembari menangis kencang. Hingga pintu ruang meeting kembali terbuka.

“Lho?” Alsaki muncul dari balik pintu dengan wajah bingung menyaksikan keributan yang terjadi. Ia sempat melirik ke arah Nilam yang berdiri mematung dengan rambut acak-acakan dan raut ketakutan.

“Saki! Bawa Ava keluar!” teriak Aswin yang tengah berusaha menghentikan serangan Maya dengan merengkuhnya. Namun sang istri terus menolak dan semakin memukulinya.

Alsaki, walaupun masih kebingungan dengan apa yang sedang terjadi, bergegas meraih Ava lalu menggendong sang keponakan keluar ruangan. 

“Kenapa kamu selingkuh?” isak Maya yang tak lagi memukuli Aswin dan mau direngkuh. “Kenapa kamu mengkhianatiku?”

“Nggak ada yang selingkuh, Darl,” jawab Aswin seraya memeluk dan membelai rambut sang istri agar semakin tenang. “Nggak ada.”

“Lalu dia siapa?” Maya menunjuk ke arah Nilam yang masih berdiri kikuk dengan wajah memucat. “Kenapa ada di sini? Ngapain kalian bertiga ada di dalam ruangan yang sama?”

Aswin semakin merengkuh Maya berusaha menenangkannya. “Aku nggak tahu dia siapa, Dar__”

“Bohong!” Maya kembali berteriak dan berusaha melepaskan diri dari dekapan Aswin. “Kalau kamu nggak kenal, kenapa dia bisa ada di sini!”

“My God, Maya!” Aswin mencoba meraih bahu sang istri, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar. “Aku tahu dia salah satu Tim Sekdir, tapi nggak tahu namanya!”

“Siapa nama kamu!” Maya merangsek maju menghampiri Nilam hingga gadis itu semakin ketakutan dan berjalan mundur. “Jawab! Siapa nama kamu!”

“N-ni l-lam ….” jawab Nilam gemetaran dengan suara bergetar. Jantungnya memompa lebih cepat dan rasa takut semakin menguar ketika punggungnya menabrak dinding, mempersempit jarak antara dirinya dengan wanita cantik yang matanya dipenuhi amarah.

“Darl, please, Darl.” Aswin hendak meraih bahu sang istri, namun usahanya kembali ditepis. ”Kamu salah paham!”

“Nilam.” Namun Maya tak memedulikan penjelasan sang suami. Ia semakin merangsek maju hingga ujung telunjuknya bisa menyentuh kening gadis yang menatapnya dengan wajah ketakutan itu. “Kamu mau merebut suami saya?” 

Nilam menggeleng keras-keras. “T-ti d-dak, B-bu ….”

“Terus ngapain kamu masih di sini?” Maya menoyor kepala gadis di hadapan hingga membentur dinding. “KELUAR!”

Nilam masih mematung. Ia seolah kehilangan kesadaran sebab terlalu diselimuti ketakutan. 

“KELUAR!” Maya mengulang perintahnya dan hampir kembali menoyor kepala gadis itu, andai tak dicegah oleh sang suami.

“Keluar, Nilam,” pinta Aswin dengan tatapan yang menyiratkan penyesalan, kekhawatiran, sekaligus permintaan maaf.

Nilam buru-buru mengangguk dan bergegas melangkahkan kaki yang terasa berat, terseok-seok meninggalkan ruang meeting. Namun sebelum menutup pintu, sudut matanya yang berair menangkap bayangan sang bos merengkuh wanita yang kini sedang menangis tersedu-sedu.

***

Siang itu Maya beruntung. Meskipun sempat marah, namun gadis brunette yang ternyata profesor linguistik dan merupakan salah satu dosen pengajar di kelas Aswin, tak menuntutnya atas penyerangan serta perbuatan tidak menyenangkan. Sang profesor malah sempat memberikan saran, “She may come down with something. She has a problem to deal with.”

Aswin mengajaknya pergi menemui dokter untuk berkonsultasi. Ia lantas melewati perjalanan cukup panjang. Melalui serangkaian asesmen yang tak mudah. Menceritakan seluruh yang dirasakan tanpa kecuali. Membuatnya mau tak mau menggali kembali kuburan masa lalu. Merasakan lagi peristiwa tidak aman dan tak nyaman yang mengerikan. Menelusuri setiap ketakutan yang menyengsarakan. Sampai akhirnya, ia didiagnosa mengalami generalized anxiety disorder[1]dan separation anxiety disorder[2] sekaligus.

Luka masa lalu yang belum disembuhkan, rupanya menimbulkan trauma menetap hingga ia beranjak dewasa. Gangguan kecemasan dan serangan panik, menjadikannya pribadi obsesif kompulsif yang terlalu protektif. Ia merasakan tekanan dan kecemasan ekstrem tentang kemungkinan kehilangan orang terdekat. Dalam hal ini, Aswin.

Maya tahu, pria itu sangat mencintainya. Ia tahu, Aswin merupakan satu dari segelintir orang yang dikenalnya yang memiliki karakter baik. Benar-benar baik, baik yang sesungguhnya, baik yang tak tergoyahkan. 

Sepanjang pengetahuan Maya selama mengenal keluarga Himawan Hardjasoemantri, ia bisa mengambil kesimpulan jika Aswin dibesarkan dalam keluarga penuh kasih sayang yang berhambur pengakuan dan dukungan. Maya tak tahu, apakah Aswin pernah merasa marah atau kecewa pada diri sendiri seperti yang sering dirasakannya. Sebab pria itu selalu melihat segala sesuatu dalam kacamata positif dan optimis. 

“Kamu takut kehilanganku, Darl?” tanya Aswin sepulang mengantar Maya bertemu psikiater untuk sesi terapi yang entah ke berapa kali. “Biar kamu nggak takut lagi, ayo kita menikah.”

Mereka akhirnya menikah di usia yang masih sangat muda, 22 tahun. Maya berpikir, mungkin juga Aswin, pernikahan bisa ‘menyembuhkan’. Tetapi ternyata, tidak sama sekali. 

Maya masih mengidap gangguan kecemasan dan serangan panik. Bahkan hingga sekarang. Meski perilaku yang ditunjukkan tak seekstrem saat ia nekat memukuli profesor linguistik berambut brunette di depan Café Grusetti. Namun siang hari ini berbeda. Maya yang merasa kelelahan usai menghadiri grand opening ‘Rumah Ramah Anak’ bersama istri Gubernur, tak mampu menghalau serangan yang datang tiba-tiba. Residu luka batin yang masih mengendap, meluap tanpa bisa dicegah begitu melihat Aswin dan putri mereka berada di ruangan yang sama dengan seorang gadis asing.

Maya sempat terpana ketika mendapati gadis muda belia meletakkan nampan yang menurut pandangan matanya terlampau dekat dengan tempat duduk Aswin. Idealnya di fase ini, ia tak kehilangan kontrol diri dan tetap bersikap normal. Namun anxiety lebih dulu menyerang dan meluluh lantakkan kesadarannya. 

“Maafkan aku, Bae,” lirih Maya dengan air mata menggenang. Ia merasa teramat malu karena telah berlaku di luar kendali. Ia juga khawatir si pegawai akan menuntut atau lebih parahnya lagi memviralkan kejadian barusan. Akan ditaruh di mana mukanya. Padahal beberapa bulan lagi, Aswin akan mencalonkan diri menjadi Walikota. Jika peristiwa ini sampai diketahui khalayak, berpotensi besar menjadi bahan gorengan bagi calon kandidat lain. Image baik dan elektabilitas stabil yang selama ini dibangun, bisa hancur dalam sekejap. Fase krusial jelang detik-detik kampanye yang seharusnya menjadi masa panen simpati, malah dikacaukan gara-gara ulahnya sendiri.

“Jangan khawatir,” bisik Aswin dengan nada yang menurut Maya terlampau tenang. “Akan kubereskan.”

[1] Gangguan kecemasan parah

[2] Gangguan kecemasan takut berpisah

All Of The StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang