"Oek! Oek! Oek! Oek!"
Entin menjejal-jejalkan dadanya secara paksa ke mulut mungil Bilqis, bayi yang belum genap berusia 1 bulan itu dengan dahi bergelimang peluh. Sebab sedari tadi, Bilqis hanya mau mencecap sebentar sumber kehidupan, kemudian melepasnya untuk kembali meraung.
"Oek! Oek! Oek!"
"Cik atuh (ayolah), Dede. Kenapa nangis terus?" Entin mengangkat punggung ringkih Bilqis dengan kecemasan tak terperi, lalu menempelkan pipi Bilqis ke dadanya. Namun bukannya mereda, raungan Bilqis malah kian menjadi.
"Oek! Oek! Oek!"
"Ya Alloh, Dede." Dengan tatapan penuh gumpalan bening, Entin menoleh ke arah Mujni yang baru masuk usai memandikan Ahtar, putra sulung mereka."Kumaha ieu (gimana ini), A?"
"Nen in atuh, Neng. Lapar pasti, nangisnya begitu." Dengan langkah terseok, Mujni menggendong Ahtar lalu memberdirikannya di atas karpet plastik. Kemudian tertatih meraih botol minyak telon, bedak, dan baju ganti yang telah disiapkan Entin di atas kasur.
"Ti tatadi alimeun (dari tadi nggak mau), A." Perlahan, setetes demi setetes bulir bening mulai luruh membasahi pipi. Batin Entin tak lagi kuasa mendengar tangis menyayat Bilqis. "Neng kudu kumaha (harus bagaimana)?"
Mujni buru-buru mengeringkan tubuh Ahtar dengan handuk. Kemudian membuka botol minyak telon dan mengetuk-ngetukkannya dengan posisi terbalik ke telapak tangan. "Seep (habis), Neng?"
Entin melenguh kesal. Mujni bukannya ikut membantu menenangkan Bilqis, malah mempersoalkan minyak telon yang isinya sudah habis sejak kapan tahu. Entin belum bisa membeli yang baru karena tak mempunyai uang.
Mujni sendiri tak lagi bicara ataupun bertanya. Dengan gerak cekatan memakaikan baju pada Ahtar, menyisir rambut, kemudian mendudukkan batita itu di atas karpet biru lusuh. Setelah sebelumnya memberikan mainan mobil-mobilan.
"Kakang main dulu, ya. Bapa mau gendong cidede bentar."
Ahtar tak menjawab karena sudah asyik menirukan suara deru mobil. "Ngeeng ... ngeeng ... ngeeng ...."
"Oek! Oek! Oek!"
Entin mengusap-usap punggung Bilqis dengan tangan gemetaran. Menatap Mujni nanar berharap suaminya itu memiliki cara jitu menghentikan tangis Bilqis.
"Nen in lagi coba." Mujni menepuk-nepuk paha Bilqis sembari bergumam, "Ssshhh ... ssshhh ...."
Entin menuruti saran Mujni, kembali menjejalkan dada ke mulut mungil Bilqis. Namun sama seperti sebelumnya, Bilqis hanya sempat mencecap sebentar, kemudian melepaskannya dan meraung lagi.
"Ada isinya nggak?" Mujni menyentuh sumber kehidupan dengan hati-hati. "Eleuh, kempes kieu (gini)."
Entin dan Mujni saling berpandangan. Mereka sama-sama tahu dan menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi. Jika tak keliru menghitung, sudah tiga hari mereka berdua tak makan nasi. Selama itu, mereka hanya makan makanan sisa Ahtar. Selebihnya, Entin berusaha mengenyangkan diri dengan banyak meminum air putih. Sedangkan Mujni memilih meniatkan berpuasa. Sebab, persediaan beras yang ada hanya cukup untuk makan Ahtar seorang. Itupun berlauk mie instan sisa oleh-oleh hajatan tetangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Of The Stories
General FictionTempat untuk menayangkan bab-bab awal novel yang rilis di platform berbayar atau novel dalam proses penerbitan. 1. Jika Dan Hanya Jika (Bab 1-7) 2. Istana Pasir (Bab 1-5) 3. Selagi Cinta Masih Ada (5 Bagian)