Suatu

51 12 1
                                    

"Neng, ieu galeuheun icalan Ema, Neng. Teu langkung pangaosna, nu penting cekap kanggo neda dinten ayeuna.”[1]

Sita terheran-heran bagaimana seorang nenek bisa memasuki halaman rumahnya. Ia menoleh ke arah jalan yang sepi, lantas beralih mengamati pintu pagar yang terbuka lebar, dan Kamal yang telah bersiap di belakang kemudi.

“Jang, punten Jang, bantosan digaleuh. Peryogi kanggo neda dinten ieu.”[2]

Melamunnya Sita dimanfaatkan oleh nenek renta untuk menyorong-nyorongkan keset kain perca ke depan wajah Yuri melalui kaca mobil yang sepenuhnya terbuka.

“Ieu Ema ngadamel nyalira tina sesa lawon anu sae. Lawonna kandel, henteu leueur. Bantosan digaleuh, Jang. Artosna kanggo Ema neda dinten ieu.”[3]

Yuri melempar senyum padanya tak menghiraukan keberadaan sang nenek. “Aku pergi dulu, Ay.”

“Jang, kumaha kekesed Ema, cios ngagaleuhna?”[4]Sang nenek terus menyorongkan keset ke muka Yuri.

Namun kaca mobil keburu tertutup setelah sebelumnya Yuri berkata dengan nada datar. “Saya sedang buru-buru, Nek. Sama istri saya, ya.”

Sita melambaikan tangan hingga mobil yang ditumpangi Yuri berbelok di tikungan. Ketika ia bermaksud menutup pintu pagar, suara nenek renta kembali terdengar.

“Neng, kumaha kekesed Ema? Neng bantosan digaleuh hiji mah, Neng. Kanggo neda dinten ieu.”[5]

Sita sontak merogoh saku bermaksud mengambil uang, tapi sampai berulang kali dicari tak menemukan selembar pun. Ketika ia hendak berbasa-basi meminta sang nenek agar menunggu, seorang pria berseragam ekspedisi pengiriman barang memasuki halaman.

“Selamat pagi, benar di sini alamatnya Ibu Sabria Sita?”

“Iya, betul.”

“Saya membawa paket dari Dago, Bu.”

Sita melongok ke arah jalan di mana sebuah trukpengiriman telah terparkir. Disusul masuknya sedan berwarna silver ke halaman rumahnya.

“Sori, Jeng, pagi-pagi sekalian ngantor.” Seorang wanita yang mengenakan setelan berpotongan elegan keluar dari sedan silver. Viona, teman bisnisnya dalam menjalankan House of Sabria tersenyum lebar sambil merentangkan tangan.

“Uh, kangen deh lama nggak ketemu,” ucap Viona sambil cipikacipiki. “Sori, jadinya kirim barang pagi. Siangnya ada jaldin[6]sampai besok. Takut nggak keburu.”

Sita tersenyum mengangguk. House of Sabria memang belum memiliki gerai resmi. Selama ini bertempat di lantai satu town house yang dihuninya semenjak Yuri dipindah ke Bandung. Setelah ia memiliki rumah baru, House of Sabria tetap menempati town house. Namun sekitar sebulan lalu, Yuri mengatakan jika seorang teman berminat menyewa town house tersebut. Ia setuju-setuju saja sebab nilai sewa yang disepakati lebih tinggi dua kali lipat dibanding omzet penjualannya. Ia pikir, House of Sabria bisa berjualan dari mana saja, sebab pelanggan yang terlanjur suka pasti tak keberatan mencari.

Sita lantas melupakan keberadaan nenek renta yang masih menunggu di halaman bersama setumpuk keset kain perca. Ia mengizinkan petugas pengiriman barang membawa masuk barang-barang. Ia juga mengajak Viona masuk ke rumah untuk memperlihatkan ruangan yang didesain khusus sebagai gerai sementara House of Sabria. Namun, baru juga menginjakkan kaki di teras, tiba-tiba dari arah pagar terdengar suara orang memberi salam disambung teriakan membabi buta penuh amarah.

“Assalamu’alaikum!”

“Aing neangan nu ngarana Asih! Bener teu ieu imahna Asih? Mana jelemana dieu kaluar! Panggihan aing lamun wani! Aing Icih Ala, pamajikan sah Aceng Supriatna!”[7]

All Of The StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang