1. Malamnya

172 16 2
                                    

Gelak tawa keceriaan memenuhi ruangan berdesain terbuka yang menghadap area taman. Perpaduan petikan gitar, dendangan lagu, dan obrolan serius menguar menghangatkan malam di bulan Mei yang udaranya terasa lembab juga dingin.

Puncak musim penghujan memang sudah lewat, akan tetapi belum sepenuhnya kemarau menghantarkan musim pancaroba sebagai peralihan. Ditandai dengan curah hujan yang tak menentu, matahari bersinar lebih terik di siang hari, namun malam hingga pagi suhu terasa dingin menggigit.

“Gua seneng sama pegawai yang kritis,” tutur Yuri penuh semangat seolah sedang memberikan materi di depan kelas. “Konteksnya untuk self development di level manajerial. Tapi kalau setingkat staf, cukuplah yang standar. Penting kerjaan beres tepat waktu, nggak pakai ngeributin SOP. Kelar.”

Bravo mengembuskan asap putih ke udara sebelum menjentikkan abu rokok ke dalam asbak. “Persis. Dungu juga oke asal memenuhi kualifikasi. Daripada milih yang punya otak bikin ribet ini itu, dikasih kerjaan kagak pernah beres.”

“Ini bukan lagi ngomongin saya kan, Pak?” ADP yang sedang memainkan gitar menyahut. ADP bukanlah Ahmad Dhani Prasetyo tapi Ari Danar Putranto. Orang-orang lebih terbiasa memanggil inisial nama dibanding menyebut 'Danar'. “Kerjaan saya selalu beres lho, Pak. Yaa, meski kadang nggak tepat waktu.”

ADP nyengir kuda. “Harap maklum lah, Pak. Kerja di lapangan itu sering nggak sesuai ekspektasi. Kendalanya sama seperti meramal isi hati cewek, meleset terus dari ekpektasi.”

Titis dan Dinara kompak menyetorkan koor “Uuu” pada ADP.

“Saya jujur aja, Pak, bukan orang yang kritis,” timpal Anu sembari melahap bala-bala. Anugerah Subangkit pasrah saja dipanggil Anu oleh rekan-rekannya sekantor. “Tapi saya paling nggak bisa diem kalau ada SOP yang nggak efektif.”

“Yah, Bapak.” Kini giliran Novanti sang sekretaris unjuk suara. “Kita kan lagi acara seneng-seneng, masa masih ngomongin kerjaan? Mending nyanyi aja, Pak. Suara Bapak kan bagus.”

“Bapak yang mana, nih?” Yuri tertawa. “Di sini banyak bapak-bapak.”

Novanti mesem. “Ya, Pak Yuri pastinya.”

“Masa Pak Bravo yang ngomong aja fals.” Meyda terkikik menambahi.

Semua tergelak, termasuk Bravo yang mengacungkan telunjuk ke arah Meyda bermaksud memprotes.

Malam ini malam yang membahagiakan bagi Yuri dan keluarga. Ia tengah mengadakan acara syukuran rumah baru yang proses pembangunannya selesai tepat seminggu sebelum SK penobatan Area Head keluar. Ia yang gelar sarjananya notabene lulusan jurusan filsafat, namun bisa meraih kursi Area Head termuda, jelas cukup berbangga hati atas pencapaian yang berhasil diraih.

Dihadiri para staf termasuk Bravo, salah seorang BM dalam areanya yang juga teman satu angkatan ketika mengikuti program rekrutmen dan pelatihan calon pegawai belasan tahun silam. Rumah baru Yuri yang didesain ramah lingkungan dengan sistem ventilasi terbuka bertambah semarak. Aneka hidangan yang sebagian dimasak sendiri oleh Sita, istri Yuri, menjadi pelengkap suasana menyenangkan yang terus menguar sejak pertama kali para tamu berdatangan.

“Ibu, Salmon En Croute nya enak banget, sumpah.” Wynne yang hobi makan tapi tak suka memasak mengerjap-ngerjapkan mata sambil menggigit sepotong Salmon En Croute buatan Sita.

“Kok bisa bikin seenak ini sih, nggak kalah sama restoran yang biasa aku pesen.” Mata Wynne semakin mengerjap karena teringat sesuatu. “Ibu, open order nggak? Open dong, khusus buat aku. Biar kubuat VT nya. Makanan seenak ini semua orang harus tahu.”

Sita menggeleng seraya tersenyum. “Ini saya juga baru belajar.”

Mulut Wynne menganga. “Asli, baru belajar bisa seenak ini? Pastrynya crunchy, salmonnya pas, krimnya lembut, hmmpph ….”

All Of The StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang