4. Kekasih Baik Hati

184 39 5
                                    

Nilam terduduk di kursi dengan lutut lemas. Ia bermaksud meraih ponsel yang berada di ujung meja, namun tak sanggup menggapai saking tangannya merasa gemetaran. Jantungnya berdebar kencang dan dadanya sesak saat bernapas. Perlahan namun pasti, aroma pekat seperti kacang-kacangan meruar dari kemeja di bagian tulang selangka hingga lengannya. Saat itulah rasa lengket dan sedikit panas di kulit nyata terasa, bekas tumpahan kopi.

Nilam menelan ludah berkali-kali sembari menggeleng berusaha menenangkan diri. Peristiwa yang baru saja terjadi sungguh tak dimengerti. Ia bahkan tidak memiliki kesempatan untuk membela diri. Wanita cantik berpenampilan elegan yang ia ketahui sebagai istri Pak Aswin tiba-tiba masuk dan memukuli punggungnya dengan membabi buta. Seruan Pak Aswin yang berusaha menghentikan keganasan istrinya justru membuahkan jambakan dan tarikan kasar di kerah kemejanya.

Nilam melirik ke bawah, lalu menghela napas panjang. Ia baru menyadari jika dua kancing teratas kemejanya telah tercerabut, terlepas dari jahitan. Ia buru-buru mengambil kotak transparan di sisi kanan flat panel. Tempat menyimpan perlengkapan berukuran kecil, salah satunya peniti.

Tangannya bahkan masih gemetaran ketika membuka kotak dan mengorek isinya. Mencari keberadaan plastik berisi selusin peniti kecil berwarna emas yang dibelinya di pasar entah kapan tahu. 

Ia berkali-kali gagal saat mencoba menusukkan peniti ke atas bekas kancing yang terlepas. Kain kemeja yang basah, jemari yang lengket, dan sisa tumpahan kopi membuatnya cukup kesulitan untuk mengaitkan peniti. 

“Nilam?” Tiba-tiba Khabibah muncul dari balik partisi. 

“I-iya, Bu,” jawab Nilam tergeragap. Ia masih berusaha mengatur napas agar kembali normal. Namun sebelum hati berangsur tenang, rekannya keburu muncul. Padahal ia sudah berniat akan menyelesaikan tugas mencetak PKS Hardja Utama dan Intana Corp, lalu menyerahkannya pada sang bos. Ia hanya memerlukan waktu untuk beristirahat barang sejenak. “S-sebentar, B-bu. B-baru mau saya print.”

Khabibah sontak mengerut, kalau tak mau dibilang melotot. Entahlah, apakah sang rekan mengetahui peristiwa yang baru saja terjadi atau tidak. Ia tak ingin bertanya lebih lanjut.

“Print apa?”

“P-PKS yang tadi, Bu.”

“Sudah, nggak usah.” Wanita yang terus-terusan memandang dengan sorot iba itu mengibaskan tangan cepat. “Kamu rapikan diri dulu. Biar saya yang ngeprint dan ngasih ke Pak Aswin.”

Nilam menelan ludah.

“Bawa baju ganti nggak?” tanya Khabibah tanpa memberi kesempatan untuk menjawab. “Kalau nggak, cari di loker Tiyah,” sambungnya sambil menyebut nama office girl kantor. “Biasanya ada seragam ganti di sana. Kamu pakai aja dulu. Daripada pulang basah-basahan begitu.”

Nilam menurut. Ia lekas meraih ponsel sebelum meninggalkan meja, diiringi tatapan iba dari Kahbibah yang tak kunjung hilang. 

Ia berjalan tergesa melewati kubikel dan pintu ruang manajer menuju bagian belakang. Tapi tak berbelok ke pantry untuk mencari baju seragam office girl di loker Tiyah seperti yang disarankan Khabibah. Ia memilih langsung masuk ke toilet, lalu berjongkok menghadap kloset dengan lutut yang kembali gemetaran, dan mulai terisak di sana.

“H-halo, Gusti?” Nilam memutuskan menelepon sang kekasih setelah hampir lima belas menit menghabiskan air mata hingga rasanya tak bersisa. 

Gusti Pangestune, teman seangkatan sewaktu menempuh kuliah Diploma 3 di salah satu kampus swasta. Mereka saling mengenal karena kerap berpapasan di lorong sekretariat UKM. Nilam yang aktif di Kesenian tradisional, sementara Gusti yang menjadi ketua Merpati Putih, lambat laun sering mengobrol tanpa pernah berkenalan secara resmi.

Ketika Gusti diwisuda lebih dulu, Nilam turut meramaikan euforia dengan mendatangi auditorium bersama teman-teman. Ia sengaja membeli banyak bunga imitasi untuk diberikan pada wisudawan yang dikenalnya, salah satunya Gusti. 

Nilam ingat betul, waktu itu Gusti masih mengenakan toga yang dihiasi selempang beludru hitam bertuliskan ‘Cum Laude’. Pemuda itu mendahuluinya menyerahkan seikat bunga anyelir merah asli, bukan imitasi, sebelum ia sempat mengucapkan selamat.

“Abdi bogoh ka anjeun.”[1]

Ulah terang-terangan Gusti sontak menarik perhatian para wisudawan dan keluarga yang mendampingi. Nilam tak bisa membayangkan semalu dan semerah apa mukanya, di tengah hari bolong, dalam cuaca siang yang cukup terik, menjadi perhatian banyak orang di antara keramaian.

Gusti lantas melanjutkan kuliah ke jenjang Strata 1 kelas ekstensi di kampus yang sama. Namun di akhir semester, pemuda itu tak bisa mengikuti UAS lantaran belum membayar uang kuliah. Gusti sebenarnya cukup beruntung. Ia bisa melanjutkan kuliah tanpa harus membayar uang pembangunan sebesar 20 juta, sebab masuk melalui jalur prestasi. Tetapi uang kuliah per semester tetap harus dibayar penuh. Sementara waktu itu, tabungan Gusti sedang terkuras habis untuk membiayai kehidupan sehari-hari kedua orang tua dan adik-adiknya. Setelah setahun sebelumnya, orang tua Gusti kehilangan mata pencaharian usai menjual seluruh sawah hasil warisan untuk membiayai adiknya masuk Bintara.

Pemuda itu sebenarnya berpeluang besar memperoleh beasiswa. Namun baru bisa didapat di tahun kedua. Akhirnya, karena tak menemui jalan keluar, Gusti memutuskan berhenti kuliah. 

“L-lagi di mana sekarang?” Nilam mengusahakan agar suaranya tak terdengar bergetar. Tetapi ternyata cukup sulit.

“Di warung, Neng,” jawab suara di seberang.

Semenjak gagal melanjutkan S1, selain aktif mengajar silat, Gusti fokus mencari pekerjaan. Pemuda itu pernah menjadi driver ojek online, sales dealer motor, teknisi layanan internet, admin gudang toko grosir. Hingga yang cukup beprospek menjadi pegawai minimarket. Tetapi karena sering nombok, harus mengganti seharga barang yang dicuri orang. Atau menggenapkan selisih antara catatan di kasir dengan jumlah uang yang ada. Pemuda itu memutuskan keluar. Lebih memilih mengambil pekerjaan freelance yang insidental. 

Namun dari sekian banyak kendala, Gusti tak pernah kehilangan cita-cita untuk berkuliah di luar negeri. Nilam sangat mengetahui betapa berambisinya sang kekasih yang rela hidup mengirit agar bisa menabung untuk membayar biaya kursus TOEFL, IELTS, dan mengirimkan berkas pengajuan beasiswa ke berbagai penyelenggara. Setiap ada informasi kesempatan pergi ke luar negeri, ke mana pun negaranya, pasti akan dikejar. 

Lambat laun, Gusti tak lagi fokus melanjutkan kuliah ke luar negeri. Prioritasnya bergeser menjadi bekerja di luar negeri. Pemuda itu lantas memutuskan mengikuti pelatihan kerja untuk ditempatkan di Jepang. Namun janji diberangkatkan hanyalah tinggal janji. Para calon TKI yang telah membayar seluruh biaya, ditipu oleh pimpinan LPK. Uang mereka dibawa kabur tanpa kejelasan kapan diberangkatkan. 

Gusti akhirnya banting setir berwirausaha. Pemuda itu rajin mengikuti berbagai pelatihan UMKM. Hingga memiliki cukup modal berjualan cuanki.

Awalnya berupa gerobak pikulan, mangkal di depan minimarket tempat Gusti bekerja dulu. Pemuda itu mendapat jatah satu lapak selebar 2x2M dengan biaya sewa satu juta sebulan. 

Ternyata lumayan laris. Cuanki buatan Gusti yang mengusung label ‘Cuanki Pangestune’ cukup digemari. Kalau kata para pelanggan yang pernah Nilam ajak ngobrol, selain harganya yang tergolong murah, siomay, baso, tahu dan kuah Cuanki Pangestune rasanya lezat dan membuat ketagihan.

Namun karena antrean pembeli cuanki terus mengular, menghalangi orang-orang yang hendak berbelanja ke minimarket. Gusti memberanikan diri menyewa lapak kosong di depan bekas waralaba cuci mobil, tak jauh dari pertigaan paling sibuk dan ramai. 

Nilam turut membantu dengan menyerahkan tabungannya untuk membeli perlengkapan warung. 

“Ada apa, Neng?” sambung Gusti. “Kok suaranya serak? Habis nangis, ya?”

Nilam menyusut hidung sebentar sebelum kembali berucap. “A-ada yang bantuin di warung nggak?”

Sejak beberapa bulan lalu, Gusti mengajak Idan, sepupu jauhnya untuk berjualan di warung. Setelah sebelumnya mempekerjakan Duden.

“Ada Idan sama Duden. Kenapa?”

“B-bisa jemput ke kantor nggak?” 

[1] Aku cinta kamu.

All Of The StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang