7. Lika-Liku Luka

644 131 8
                                    

*lanjutan dari Labirin Mata-Mata

Tika dan Rudi tak pernah benar-benar saling bicara. Tiap kali Tika memulai, Rudi langsung menghindar, memasang tembok pembatas enggan disudutkan. Lagipula, Rudi sudah kepalang basah merasa nyaman berteman dengan circlenya. Toh Rudi sebisa mungkin berusaha tak terpengaruh teman circle yang toksik. Begini-gini juga, Rudi bisa mikir pakai otak dan masih sayang sama keluarga.

"Aku udah nggak peduli lagi Abang mau main sampai pagi kek, jalan ke mana kek, sama siapa kek," murka Tika suatu malam saat membukakan pintu. Kesabarannya punah sudah. Lelah memikirkan hal yang sama sekali tak pernah Rudi pikirkan.

Pernah saking merasa kesalnya karena Rudi baru pulang nongkrong subuh-subuh. Begitu matahari terbit, tanpa sempat mandi, masih mengenakan daster rumahan, dan hanya berbekal uang seadanya, Tika meraup Rudra yang baru bangun tidur.

"Kita pergi ya, tayang," bisik Tika di telinga Rudra yang merengek-rengek sebab masih mengantuk. Tika ingin memberi pelajaran berharga pada Rudi.

Dari Basmol, dengan dada penuh gejolak, Tika menyetop angkot jurusan Ciledug. Sepanjang perjalanan, tiap lima menit sekali Tika meraba saku daster yang berisi ponsel. Berharap ada pesan atau panggilan masuk dari Rudi.

"Ayang di mana?"

"Rudra mana, kok rumah sepi?"

"Ayang, jangan aneh-aneh. Pulang, Yang."

"Abang cinta sama Ayang, jangan tinggalin Abang, Yang."

Tapi sayang seribu sayang, sampai angkot yang ditumpangi Tika melewati daerah Joglo, ponsel tak kunjung menggelepar. Sunyi sepi. Dengan dada yang semakin bergejolak, di Ciledug Tika turun hanya untuk menaiki angkot pertama lainnya yang lewat.

Tika tak lagi bisa berpikir jernih, amarah terlampau membuncah, hati kecewa bukan kepalang. Bisa-bisanya Rudi tak menyadari ketiadaan mereka berdua di rumah?

Namun rengekan Rudra yang mulai merasa lapar, perlahan memulihkan kesadaran Tika. Lembaran lusuh di saku daster jelas tak cukup jika harus dibelikan kue untuk Rudra sekaligus ongkos pulang. Akhirnya dengan dada bergemuruh tak karuan, Tika memutuskan turun di Mayestik. Lalu menaiki angkot kembali ke Ciledug.

Hampir dua jam kemudian, dengan langkah lunglai di bawah pancaran sinar mentari yang semakin terik. Tika tak tahu harus marah atau menangis Ketika mendapati jendela dan pintu rumah masih tertutup rapat, dengan Rudi yang tertidur lelap.

"Tapi begitu Abang macam-macam." Tika menggeleng dengan raut lelah. "Kita pisah!"

Rudi yang tak kalah lelah hanya menggeram tak mempedulikan ancaman Tika. Palingan juga besok baikan lagi, batin Rudi. Toh ia pulang malam bukan karena berbuat yang bukan-bukan, tapi baru menyelesaikan transaksi jual beli motor milik seorang teman. Uang komisi sebagai makelar bahkan masih tersimpan utuh di dompet. Menolak ajakan Ato untuk melipir mencari hiburan di tempat karaoke.

Namun reaksi Tika yang tak lagi mengomel, bahkan langsung berlari ke kamar mandi membuat Rudi terheran-heran. Apalagi begitu mendengar suara Tika yang muntah-muntah. Rudi sampai harus menyusul ke kamar mandi dan meraih lengan Tika agar tak jatuh tersungkur ke jamban.

All Of The StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang