𖠾07𖠾

10 7 0
                                    

Dapur di rumah Jullia masih dipenuhi dengan aroma bawang putih yang mulai sedikit gosong. Gio dengan cekatan menumisnya, dan menambah beberapa potongan daging, kemudian mencampurkannya dengan kubis. Mengingat Gio sangat suka bereksperimen dengan masakannya, ia selalu bisa menambahkan menu baru saat ingin memasak untuk seluruh anggota keluarga.

Jullia turut membantu dengan menyiapkan piring serta membuat teh untuk ia, Gio dan ibunya, kopi untuk ayahnya dan susu untuk adiknya. Setiap ia menyusun piring, selalu ada dengungan lagu yang akan memenuhi suara di dapur.

Sejujurnya Gio tidak suka jika dapur terlalu ramai, oleh karena itu, ia hanya meminta tolong Jullia untuk menyusun meja makan atau mencuci piring. Dapur adalah arena bermainnya, ia tidak akan membiarkan siapa pun memasukinya.

"Jadi, gimana kerja hari pertamanya?" Gio mengeluarkan suara, menghentikan dengungan lagu yang dikeluarkan oleh Jullia.

"Tidak terlalu buruk. Setidaknya udaranya lebih nyaman ketimbang di rumah," jawab Jullia.

Gio tertawa, ia mengerti maksud Jullia. "Kalau begitu bagus, deh. Seenggaknya kamu punya pemasukan."

"Julli selalu buka komisi, sih, di fiverr, makanya masih bisa hidup sampai sekarang. Abang sendiri, gimana buat kelulusan nanti? Julli dengar kajur di tata boga agak susah dikit." Jullia mengalihkan topik. Meskipun sudah sadar topik yang dibawanya adalah topik sensitif, ia tetap menanyakannya.

Gio mematikan kompor, ia membawa Teflon ke meja makan, dan menuangkan tumis daging tadi ke piring yang ada di tengah meja. "Bukan sedikit. Emang susah banget. Kajurnya perfeksionis banget, jadi semuanya harus selesai. Presentasi, tugas akhir, tanda tangan. Banyaklah. Mumpung kamu masih kelas sebelas, coba dicicil dari sekarang."

"Emang Abang ga bisa?"

Gio terdiam, ia menatap Jullia, kemudian kembali ke dapurnya. Ia tidak membalas kalimat Jullia, lebih tidak ingin menjawabnya.

"Kalian bangun pagi seperti biasa. Terima kasih sudah menyiapkan sarapan, Gio."

Ayah Jullia, Defri, menatap kedua anaknya dengan sedikit semangat. Sedangkan ibu tirinya, Windy hanya tersenyum tipis. Satu wajah masih belum terlihat pagi itu.

"Biarin aja Gilang tidur. Nanti aja banguninnya," ujar Gio saat menatap Jullia hendak pergi ke kamar Gilang.

Jullia tidak membalas kalimat itu. ia hanya merasa sayang, karena minuman yang dibuatnya akan dingin jika tidak segera diminum.

"Ah iya, anak-anak. Kalian mau pergi hari ini? Jalan-jalan keluarga. Ke taman atau kemana?" Defri kembali bersuara. Ia menarik kursi dan duduk sembari menunggu jawaban dari yang lain.

Windy juga begitu, ia menarik kursi dan duduk di sebelah Defri. "Atau ke pusat pembelanjaan? Apa ada yang mau kalian beli?"

Jullia mengambil tempat di sebelah ayahnya. "Jadwal Jullia kosong sih hari ini. jadi ngikut aja."

"Tergantung jam berapa. Gio mau main futsal soalnya nanti malam."

Senyuman di wajah Defri merekah. "Kalau begitu kita pergi nanti siang. Ke pusat pembelanjaan. Kalian beli apa yang mau kalian beli, ajak Gilang juga, nanti ayah kasih budget. Gimana?"

"Oke."

Suasana yang berat perlahan menjadi ringan. Entah karena usaha Defri atau memang semuanya perlahan ingin merubah pribadi mereka. Setidaknya, Jullia bersyukur di pagi hari tidak ada seruan dari Gio.

𖠾𖣇𖠾𖣇𖠾𖣇𖠾

Baju serba hitam yang digunakan oleh Evan, Tora dan Andi, membuat mereka merasakan kehilangan kembali. Meski sudah lama waktu berlalu, setiap mereka mendatangi pemakaman rasanya seperti baru kemarin kejadian yang sangat menusuk diri mereka.

Terpaksa Melanjutkan Komik Karena Salah Akun✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang