𖠾22𖠾

6 3 0
                                    

Jullia tidak berani keluar dari kamarnya. Ia bisa mendengar perdebatan dari Gio dan kedua orang tuanya. Yang lebih ia khawatirkan adalah, Gio yang membahas keinginan Jullia untuk masuk ke perguruan tinggi. Ia mendengar dengan samar teriakan itu, Gio sangat mendukungnya, namun ayahnya tidak sedikit pun menerima atau bahkan mau membahas tentang itu.

Jullia duduk di kursinya, mengambil handsfree, kemudian menyumpal kedua telinganya. Ia tidak mau meributkan hal sepele tersebut, tapi di sisi lain ia juga tidak mau menyudahi perdebatan tersebut. Ia tidak berani melakukan apa-apa.

Masih ada waktu dua jam lebih hingga waktunya pergi ke rumah Evan. Dalam beberapa waktu lagi, pasti perdebatan itu akan mereda menurut Jullia.

Jari Jullia bergerak di atas layar tablet, membuka aplikasi Clip Paint Studio, dan melanjutkan gambar bebasnya yang sempat tertunda. Di layar tabletnya terlihat jelas garis tipis yang sudah siap untuk diwarnai olehnya.

Stylus pen-nya bergerak di atas layar, memilih warna di palette yang sudah ia urutkan. Sisi layar yang diisi referensi warna baju turut memenuhi isi layar. Telinganya masih mendengarkan lagu Jepang yang selalu ia putar sesuai albumnya.

Jullia tidak tahu apakah perdebatan di luar sana sudah mereda atau belum. Ia tidak bisa menebaknya. Ia hanya mengatur waktunya, dalam beberapa menit lagi ia akan coba mengecek keluar apakah rumah berantakan lagi atau tidak. Pertengkaran Gio dengan kedua orang tuanya selalu berakhir buruk, rumah berantakan atau Gio yang tidak pulang. Biasanya ia atau Gilang yang membereskan kekacauan tersebut.

Jullia menghela napas panjang. Ia melepas handsfree-nya, meletakkan stylus pen-nya, lantas keluar dari kamarnya.

"Gak bakal maju kalau hal beginian gak berani diatasin sendiri," pikirnya.

Ia menatap ruang tengah yang tidak berantakkan sedikit pun, kink matanya tertuju pada Gio yang duduk di sofa sembari bermain gim di ponselnya. Kemudian ia saling membalas tatapan dengan Gio. Laki-laki dengan baju putih dan celana pendek selutut itu mendengkus.

"Jangan khawatir, tidak ada yang perlu dibereskan." Gio mengalihkan pandangannya, seolah mengerti maksud dari tatapan Jullia yang kebingungan.

Jullia masih menatap Gio dengan bingung. Tidak ada barang berserakan membuatnya sedikit heran, apa benar abangnya itu berdebat dengan orang tuanya? Kenapa tidak ada sedikit pun yang beserakkan? Ia berusaha menerka-nerka jawabannya, tapi tetap tidak ketemu.

"Kamu nggak kerja?" Gio bersuara lagi.

"Kerja,bentar lagi." Jullia duduk di sebelah Gio, menatap jari-jari Gio yang lincah bergerak di atas layar ponsel.

"Kuliah aja, nggak bakal ada yang larang, tapi nggak ada juga yang nekan. Kamu bebas melakukan apa yang kamu mau setelah lulus nanti. Abang emang enggak bisa bantu banyak, tapi kalau kamu mau melakukan hal yang bagus ke depannya, abang bakal berusaha mendukung kamu. Oh, iya, Gilang juga. Kamu nggak sendirian di rumah ini." Jari-jari Gio berhenti bergerak, tulisan 'menang' pada layar ponselnya turut terlihat. Ia menatap Jullia dengan senyuman yang lebar.

Jullia mengalihkan pandangannya, ia menatap lantai rumahnya yang berwarna coklat. "Terima kasih."

𖠾𖣇𖠾𖣇𖠾𖣇𖠾

Ruangan guru yang tidak terlalu ramai membuat suasana di dalam sana sedikit canggung. Pada jam ketiga, para guru masih sibuk mengajar pada sesi kelas yang masuk. Tora terus menunggu guru yang ada di hadapannya berbicara dengan dirinya yang terus tertunduk dengan meremas tangannya.

Sampai akhirnya satu murid kembali masuk, berbicara pada guru yang ada di hadapannya, lantas duduk di sebelah Tora. Murid itu adalah Nana, sahabat Jullia.

Terpaksa Melanjutkan Komik Karena Salah Akun✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang