Hari sabtu merupakan hari yang cukup ditunggu daripada hari minggu. Begitu juga untuk Jullia. Tiga hari waktu yang ia habiskan sejak kedatangan Andi ke rumahnya. Tiga hari adalah waktunya untuk menyelesaikan satu bab komik, tapi ia sudah menyelesaikan dua bab dan sedikit lagi akan menyelesaikan bab ketiganya.
Salah satu tujuannya selain menyelesaikan beberapa bab lagi adalah untuk mengakhiri kepura-puraannya atas semua yang sudah ia katakana pada Evan, Tora atau bahkan Andi. Ia juga sangat bersyukur atas semua yang terjadi ia jadi lebih menghargai dirinya sendiri melebihi apa pun.
"Walaupun lu ngejar tayang, harusnya pesan gue harus dibalas, dong," ujar Nana saat Jullia mulai merapikan meja belajarnya.
Gadis itu memasukkan tablet serta stylus pen-nya ke dalam tas, lantas berbalik arah dan menatap Nana. "Maaf, deh."
Nana menghela napas panjang. "Jadi lu mau gue nemenin lu buat ke rumah Evan lagi?"
Jullia mengangguk. "Iya, sesuai dengan perkataan lu. Gue mau menyelesaikan apa yang telah gue mulai. Gue mau fokus ke sekolah dulu, setelah itu baru, gue akan bebas mengepakkan sayap gue."
Nana tersenyum lebar. "Oke."
Kedua remaja perempuan itu menunggu di halte bis, menanti kedatangan bis jurusan mereka. Sejak dulu mereka tidak terlalu ingin membawa kendaraan masing-masing, lebih menyenangkan jika menaiki transportasi umum. Selain mudah, mereka bisa menghemat uang bahan bakar.
Ketika mereka sudah menaiki bis, Jullia mulai menyalakan kembali tabletnya. Ia melupakan pemberian efek pada dua panel terakhir pada bab ke sepuluh. Jari-jarinya bergerak lincah di atas layar, kemudian kembali keluar dari aplikasi tersebut. Jullia yang sudah menyimpan filenya, lantas mengirimkan file tersebut melalui email dan mengirimkannya pada Evan. Jarinya kembali mematikan tablet dan memasukkannya ke dalam tas.
Bis yang tidak terlalu ramai itu membuat dirinya leluasa memperbaiki sisa panel pada komik. Ia juga sedikit lebih leluasa untuk melakukan semuanya.
"Lu benar-benar mau berhenti?" Nana kembali bersuara, ia merasakan hal yang tidak menyenangkan saat sadar apa arti berhenti itu.
Jullia menatap kursi demi kursi yang ada di hadapannya lantas memalingkan wajahnya menatap jalanan yang tidak terlalu padat. "Jangan ditanya lagi. Lu malah bikin gue ragu."
Diam sejenak. Padahal dirinya sudah memantapkan hati untuk berhenti, tapi ia tidak akan berhenti untuk mendukung Evan. Ia bersyukur dapat mengetahui lebih awal siapa komikus yang sangat ia gemari dan juga orang yang ia sukai. Lupakan jika ia menyukai Evan, ia hanya ingin mendukung komikus Ethanios.
"Ayah nentang gue buat kuliah di luar kota. Tapi memangnya kuliah apa yang ada di kota sini? Semua program studi yang paling diinginkan anak jurusan kita berada di luar kota. Jadi gue rasa gue harus berusaha lebih keras lagi. Entah mendapatkan beasiswa atau mengumpulkan uang sebanyak mungkin." Jullia menatap Nana dengan masker hitamnya, kemudian matanya menandakan ia sedang senang. "Terima kasih buat lu, gue jadi bisa menatap lurus ke depan."
Nana mengalihkan pandangannya, menatap sisi bis yang kosong. "Gue melakukannya bukan cuman buat lu, tapi buat diri gue sendiri."
Jullia tertawa renyah. "Kalau begitu apa pun yang terjadi ke depannya, semangat, ya. Gue bakal berusaha mendukung lu."
Bis berhenti di halte tujuan mereka. Tas kembali disandang Jullia, kemudian mereka berdua turun dari bis dan menatap arah jalan raya. Kaki mereka tidak berhenti sampai di sana, mereka melanjutkan perjalanan hingga masuk ke dalam perumahan tempat rumah Evan berada.
Rumah berwarna hijau serta pagar bewarna hitam. Tidak lupa beberapa kendaraan yang terparkir di halaman depan. Jullia tidak pernah bosan memperhatikan halaman rumah Evan yang sejuk dipandang itu. Kemudian matanya tertuju pada satu kendaraan bermotor milik Andi, ia sudah bisa menyimpulkannya jika Andi ada di studio Evan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Melanjutkan Komik Karena Salah Akun✅
Teen FictionEthan, komikus yang sudah lama hiatus kembali muncul di permukaan sosial media karena kesalahannya me-retweet sebuah postingan gambar penggemar milik artist bernama JULLY. Kesalahannya semakin terasa fatal setelah editor mulai menelponnya dan menje...