𖠾11𖠾

8 6 0
                                    

Seseorang harus mengatakan pada Evan jika ia salah paham bahkan tidak ada satu pun yang ia mengerti.

"Maksud gue, lu tau, ya, kalau gue punya masalah satu tahun yang lalu?" Evan mengulangi pertanyaannya saat Jullia mengerutkan dahinya tidak mengerti.

"Hah? Maksudnya masalah lu hiatus?" balas Jullia masih tidak mengerti pertanyaan dari Evan.

"Iya, itu! Lu tau?"

"Emm ... Sakit tangan, kan? Di platform ditulis karena kesehatan komikus bukan persiapan musim baru," jawab Jullia.

"Bukan!"

"Van, gue rasa lo salah paham." Tora menepuk pundak Evan, berusaha menyadari sahabatnya itu.

"Nggak, Tor!"

"Van, mana mungkin dia tau masalah Reina." Andi ikut menambahkan.

Evan terdiam, ia menatap Jullia yang masih bingung akan apa yang ditanyakan oleh Evan. Wajah Evan perlahan memerah, dan gelak tawa keluar dari Andi dan Tora.

"Temen lu, tuh, Tor. Ga pekanya ampe salah sangka hahahahaha."

Setelah beberapa menit Tora menjelaskan bagaimana sikap Jullia sebenarnya, Evan merasa ingin menenggelamkan kepalanya di atas tanah karena malu yang diakibatkan rasa percaya diri berlebihan.

"Sejak awal Jullia emang gini. Dia ngerti situasi, tapi dia gatau kalau lu punya masalah, Van. Lu juga ga pake nanya dulu ke kita. Malu kan lu." Andi masih berusaha menahan tawanya.

"Jangan ketawa dong. Gue ngerasa mau ngilang aja dari peradaban, nih!"

Tawa mereka mereda. "Lagian, kenapa, sih, makai nanya itu ke dia?" tanya Tora

"Cuman buat mastiin aja."

Pagi tadi, saat Evan bertemu Jullia di sekolah, ia meminta Jullia untuk datang ke rumahnya saat sekolah telah usai. Ia menyatakan jika tugas OSIS-nya telah selesai, dan Jullia bisa kembali bekerja di studionya jika ia mau.

Jullia sendiri merasa tidak keberatan di mana ia harus bekerja, entah di rumahnya sendiri atau bahkan di rumah Evan. Selama ia bisa mengerjakannya dengan santai, ia tidak masalah.

Hanya saja, sejak Evan mulai menanyakan hal yang tidak ia mengerti, Jullia semakin penasaran kenapa Evan hiatus jika bukan karena sakit di tangannya. Terlebih Evan menyebutkan nama yang cukup asing di telinganya.

Jullia Mulai merapikan baang-barangnya dan membuka kanvas yang belum ia selesaikan sebelumnya. Hanya tinggal beberapa panel lagi hingga ia bisa melanjutkannya ke bab selanjutnya. Jika ia berhasil menyelesaikan hingga bab ketiga, ia bisa melihat secara langsung bagaimana orang-orang bereaksi pada karya dengan dia yang berada di dalam prosesnya.

"Kamu udah lama suka gambar?"

Pertanyaan yang sama kini keluar dari mulut Jeya.

Jullia menghentikan pergerakan pada tangannya, kemudian menatap Jeya, dan mengangguk.

"Orang tua kamu ngedukung atau ngelarang?"

"Nggak keduanya," jawab Jullia. Ia kembali menggerakkan stylus pen-nya, dan mewarnai kulit Cain. Ia bukan tipe pewarna dengan gray scale, ia lebih suka mewarnai secara langsung dan shading secara tradisional.

"Jadi kamu juga ga ngerasa bebas, ya? Saran kakak, ketika kamu memutuskan buat orang tau apa yang kamu suka, biarin aja ngalir, jangan takut dinyinyirin. Kakak juga yakin, kalau kamu bakal didukung." Jeya bersuara lagi.

"Menurut saya, ini bukan soal bebas atau semacamnya, ini tentang bagaimana diri sendiri bisa nerima apa adanya kulitas yang dimiliki."

Kemudian suasana itu berubah. Jeya tidak menyangka jika dirinya salah bicara. Hingga suasana itu berganti saat Tora memasuki ruangan.

Terpaksa Melanjutkan Komik Karena Salah Akun✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang