𖠾05𖠾

13 8 0
                                    

Tidak dapat dibayangkan oleh Jullia jika ia akan tahu alamat rumah Evan. Bahkan sampai bisa mengenal keluarga Evan. Ia tidak siap untuk semua itu. Ia berulang kali mencari pakaian yang cocok untuk digunakan saat akan pergi ke rumah Evan, walau mereka bukan akan pergi jalan-jalan.

"Ini kayak dua tiga pula terlampaui, Na!" Jullia berseru hebat saat ia meminta saran pada Nana di hari sabtu yang biasanya digunakannya untuk tidur panjang.

Nana melenguh panjang. "Bukannya bagus, lu jadi makin deket ama doi, terus jadian, yey gua dapat pajak," balas Nana dengan nada malas. Ia masih setengah sadar.

"Pajak mulu lu. Bukan soal jadian apa enggak, Na. Tapi ini hati kagak siap, deg deg ga jelas gitu. Capek. Bayangin aja, gue suka sama doi, taunya doi author dari komik yang gue suka. Rasanya kayak dapat bonus, ga, sih."

Nana menghela napas panjang, ia berguling ke sisi lain kasurnya. "Ya bonus buat lu. Gue malah diancam biar ga buka mulut soal dia di sekolah. Terus sekarang gue harus apa biar lu tenang? Nangkring di pinggir rumah Evan biar lu santai?"

"Nah, itu dia! Ikut gue ya, Na!" Jullia berseru kencang, seolah-olah idenya adalah hal yang sangat cemerlang.

"Ogah, ah. Nanti siang gue ada ketemu klien ngebahas konten animasi. Dah ya, gue tutup dulu, semangat." Nana buru-buru meatikan panggilan tersebut, membuat Jullia termangu dengan kesunyian tersebut.

"NANA!"

𖠾𖣇𖠾𖣇𖠾𖣇𖠾

Suasana di rumah Evan terasa berbeda saat Jullia sudah tiba. Ketiga saudara Evan menatap Jullia dengan penuh penasaran. Di samping Jullia, Tora sudah menemaninya. Mereka menunggu kedatangan Evan untuk menjelaskan semuanya.

"Pacar Bang Epan cantik!"

"Iyah, lebih cantik dari Kak Je!"

"Calanthe, Calantha, panggil abang kalian." Si gadis berkacamata berusara.

Jullia berusaha menahan tawanya. Ia merasa gemas saat melihat kedua anak kecil itu bersuara. Tetapi ia takut merasa salah bicara saat mengeluarkan suara. Jullia menatap Tora di sebelahnya yang sangat santai bermain handphone dengan sebelah telinganya disumbat dengan handsfree.

"Jeya, kakaknya Evan." Gadis berkacamata itu mengulurkan tangannya, ia tersenyum simpul.

"Jullia. Teman satu jurusannya Evan, Kak." Jullia membalas jabatan tangan tersebut, dan tersenyum seperti biasa.

Satu wanita paruh baya bergabung pada pembicaraan tersebut, yang tidak lain adalah bundanya Evan, Yunita. Ia menaruh beberapa gelas dan duduk di sebelah Jeya.

"Jullia, ya. nama kamu manis. Diminum dulu. Evan kalau udah kesiangan suka keteteran sendiri, jadi diwajarin aja, ya."

Jullia tertawa pelan. "Siap, Tante!"

"Bunda sehat?" Tora mengeluarkan suara, ia sudah mematikan handphone, dan melepas sumbatan telinganya.

"Sehat, nak. Gimana sekolah kalian? Evan tidak ada bikin masalah lagi, kan?" Yunita membalas.

Suaranya sangat menenangkan, itu yang terlintas dipikiran Jullia saat itu. Suasana di rumah Evan terasa sangat hangat baginya. Terlebih dengan dua cilik kembar yang sangat menggemaskan itu. Jullia benar-benar tidak tahan ingin mencubit kedua pipi itu.

"Sorry jadi ngaret. Tadi kesiangan!"

Pandangan Jullia tertuju pada Evan yang menggunakan kaos oblong serta celana yang hanya selutut.

Ah, ini mah rejeki anak baek pasti. Jullia yakin dengan kalimat yang ia utarakan di dalam hatinya tersebut.

"Kata Andi dia bakal telat juga, mau ngambil KTP dulu."

Terpaksa Melanjutkan Komik Karena Salah Akun✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang