Kukira sedang menjalani mimpi buruk meskipun tidak sedang bermimpi.
--
Yerim duduk meringkuk memandangi halaman luas lewat jendela kamarnya. Rambutnya yang menjuntai basah, kedua mata yang terlihat sembab masih sama terus melihat tetes demi tetes air hujan yang kini jatuh semakin deras.Tak ada satupun yang tau bagaimana kondisi gadis ini, bagaimana keadaan hatinya saat ini. Dengan salah satu tangan yang terangkat kemudian memukul keras dadanya. Yerim masih tidak paham, kenapa dirinya terus saja bodoh hingga detik ini.
Malam semakin pekat. Tak ada satupun cahaya yang menerangi langit luar. Andai tuhan dapat memahami sedikit perasaannya. Andai dirinya bisa terbebas dari kurungan rasa sakit yang ia buat sendiri. Kini, air mata Yerim kembali menetes. Andai sekali ini saja Tuhan dapat mengabulkan permohonannya.
Ia sama sekali tidak mengharapkan cinta yang begitu tragis ini. Cinta yang hanya dirinya saja dapat merasakannya namun tak sekalipun dapat menggapainya. Berulang kali dirinya berusaha untuk melupa. Mungkin sehari saja masih tidak apa baginya, namun berulang kali dirinya terus tidak dapat menahan gejolak yang semakin besar. Memenuhi seluruh ruang dihatinya dan begitu saja menorehkan luka berkali-kali.
Tangisnya mulai mereda, Yerim mengusap pelan bekas air matanya. Kenapa rasanya selalu sakit? Wajahnya juga semakin memucat, mungkin ini karena dirinya berani menerobos derasnya hujan di tengah cuaca yang begitu dingin ini.
Perlahan kedua manik Yerim mulai terpejam. Setiap malam dirinya selalu memohon. Entah itu jawaban dari perasaan sepihaknya atau mungkin jawaban agar dirinya bisa melupakan semua tentangnya. Begitulah, setiap hari ketika dirinya mulai membuka kelopak matanya hanya ada satu harapan. Semoga hatinya tidak lagi gelisah dan terus merasa damai.
___
Pagi menjelang. Cuacanya masih terlihat sama dinginnya dengan tadi malam. Yerim menarik erat selimutnya agar dapat membungkus sempurna tubuh kecilnya ini. Keringat dingin mengalir membasahi wajahnya, badannya bergetar, bibirnya pucat.
Yerim tau ini semua tanda-tanda apa, Namun dirinya tidak bisa bersikap lemah dan meninggalkan sekolah-nya hari ini. Belum lagi dirinya masih ada ujian tulis yang tak dapat dirinya tinggal. Gadis itu mulai bangun dan beranjak mengambil segelas air putih kemudian meneguknya dengan perlahan. “Kamu harus kuat Qalesya,” gumamnya.
Lima belas menit, Yerim sudah terlihat rapi dengan seragam Sekolah-nya. Kepalanya agak terasa pusing namun masih bisa ia tahan. Begitu memasangkan sebuah jaket tebal berwarna abu-abu ke tubuhnya ini, pandangannya kembali menatap ke arah cermin. Gadis dengan pandangan sayu ini terlihat begitu putus asa dengan perasaannya. Rasa lelah itu kembali datang meski dirinya berkata baik-baik saja.
Hufft, Yerim menghela napas pelan, kini langkah kakinya sudah membawanya ke tempat lain. Entah sejak kapan dirinya kembali memijakkan di tempat ini. Entah juga sudah berapa kali rasa lelah yang di dapatnya disini, Yerim rasa tak lagi dapat menghitungnya.
“Yerim, wajahmu pucat. Kamu sakit?”
Suara familiar ini Yerim paham betul, ia menoleh memandang lekat orang yang kini tengah berdiri di depannya. Sorot mata yang saat ini memancarkan sorot kekhawatiran akan dirinya.
“Aku baik-baik saja,” jawab Yerim.
“Apalagi yang tidak aku tau? Berapa banyak lagi kamu ingin mengelaknya?”
Kalimat itu jelas menohok hati Yerim. Ia hanya tidak ingin dilihat lebih menyedihkan lagi didepan sahabatnya, Hana.
“Lupakan semuanya, dengan begitu rasa sakitmu akan berkurang.” Hana paham betul bagaimana Yerim. Bohong jika dirinya berkata tidak.
Yerim tersenyum tipis melihat cara Hana bersikap untuk menenangkan dirinya. Tangannya terangkat, menepuk pelan bahu gadis cantik yang kini masih berdiri bersamanya. Mengusap lengannya pelan, “Terimakasih.”
Hana berdengus pelan seraya melengoskan kepalanya ke samping. Kenapa ada orang seperti Yerim di dunia ini? Kenapa juga gadis ini bisa berteman begitu akrab dengannya? Gadis berhati lembut dan memiliki rasa tulus ini mengapa selalu terlihat begitu bodoh dan naif. “Pergilah istirahat, hari ini kelas dibatalkan.” ucap Hana.
Yerim tersenyum manis pada Hana seraya memeluknya sebentar. “Katakan juga pada Nara jangan terlalu mencemaskanku.”
Walau Nara tidak tau apa-apa terkait perasaan Yerim selama ini. Walaupun Nara selalu tidak bersama dan tidak selalu menemani Yerim dalam sedihnya. Namun Nara juga bagian dari pertemanan mereka, bukan salah Nara jika hanya dirinya yang tidak mengetahui apa-apa. Hanya saja Yerim tidak ingin lebih banyak orang lagi yang tau seberapa menyedihkannya ia selama ini.
Yerim terus melangkah menuju ke ruang UKS. Dalam langkahnya dia sepertinya sadar, ini adalah jalan yang sama saat akan menuju ruang Radio. Sembari mendengarkan siaran radio yang kini sudah tersambung ke airpods-nya, Yerim masih sempat tersenyum dengan wajah masamnya itu.
Suara ini dengan bersamaan membuatnya bahagia sekaligus merasa sesak. Ia menghentikan langkah kakinya begitu berdiri tepat disamping ruang itu. Ruang yang kini terdapat sosok yang selalu dirinya dambakan. Yerim menatapnya sebentar, ke arah sosok yang tidak pernah bisa dirinya gapai entah sejak kapan menoleh dan menatap balik ke arahnya.
Yerim lelah karena sorot pandang itu masih selalu sama. Netranya kembali memanas sembari mendengarkan kata demi kata yang terdengar jelas ditelinganya melalui celah sebuah speaker yang menggema diseluruh penjuru bangunan. Yerim hanya terdiam tanpa suara dan langsung berlalu pergi dari sana. Gadis itu mendudukkan dirinya diatas kasur minimalis, dalam sepi ia berusaha mengontrol tubuhnya yang masih terlalu lemas.
“Kenapa lari begitu saja?”
Yerim sedikit tersentak begitu mendengar suara lain menggema disana. Dia tak dapat melihat pemilik suara itu disaat ada pembatas tirai disetiap kasur-nya.
Srekk!
Tirai dibuka cepat dan berhasil membuat Yerim bertatapan langsung dengan opsidian tajam milik Hawon. Bodoh, kenapa tadi dia tidak mengenali suara ini? Kedua mata mereka bertemu, saling bertukar pandang untuk sesaat. Sebenarnya apa yang ada dipikiran Hawon saat ini.
“Kemarin kenapa tiba-tiba pergi?” ulang Hawon sekali lagi.
Yerim memutus kontak matanya dan memandang ke arah lain. Ia hanya takut Pria ini kembali mengacaukan isi pikirannya. “Hanya ingin saja,” jawab Yerim sekadarnya saja. Ternyata Hawon datang hanya untuk menanyakan perihal kemarin.
“Yerim, kamu menyukaiku?" tanya Hawon tiba-tiba.
Yerim tidak pernah dihadapkan dengan situasi seserius ini sebelumnya. Tapi mengapa dirinya seolah tau begitu melihat ke dalam sorot mata milik Hawon, kenapa semuanya seakan terlihat jelas disana.
TBC!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreaming Of You [TERBIT] [End]
RomanceDi dunia ini, saat Yerim tidak lagi punya tujuan untuk bersandar. Sekalipun saat dia berkali-kali ingin menyerah dan juga merasa kesal secara bersamaan. Mengapa hanya dia? Mengapa rasa luar biasa ini membelenggu nalurinya. Saat rasa itu terpanggil d...