Yerim mungkin sedang berada dalam ujung hidupnya. Pikirannya semakin hari semakin hancur dan begitu menyiksanya. Ia bahkan tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi setiap kali membuka kedua kelopak matanya di Pagi hari. Bahkan saat tangannya mulai mengusap pelan hidung yang kini mengalir sebuah darah tetap saja membuatnya bungkam.
“Yerim kamu kenapa?” Hana berjalan mendekat begitu menyadari pergerakan Yerim, dengan hati-hati dirinya bertanya.
“Aku baik-baik saja.” Yerim berkata demikian agar tidak membuat Hana khawatir padanya. Sejujurnya akhir-akhir ini kondisi badannya semakin menurun. Wajahnya selalu pucat meski pada akhir nya ia paksakan untuk tetap tersenyum.
“Aku pergi keluar sebentar,” ucap Yerim.
“Kemana?” tanya Hana.
Yerim menoleh, ia tersenyum tipis tanpa menjawab ke arah Hana. Seakan memberi kode untuk membiarkannya pergi dari sana. Yerim berjalan menelusuri jalanan setapak yang membentang dihadapannya sesekali menghela napas pelan. Apa yang masih aku harapkan, batinnya.
Sudah dua minggu berlalu sejak Ujian Nasional berlangsung. Yerim menghentikan langkahnya lantas tersenyum getir, mencintai seorang pria enam tahun lamanya ternyata tidak cukup mudah.
“Yerim.”
Entah sejak kapan Senara berdiri tak jauh dari keberadaan Yerim. Menatap lawan bicaranya itu dalam diam seakan tersirat makna dalam kebisuan.
“Aku ingin bicara denganmu,” ujar Senara.
Yerim tidak menjawab. Dia masih tetap dalam posisinya, entah apalagi yang membuatnya merasa tidak nyaman setiap kali melihat wajah Gadis di depannya ini. Entah itu rasa iri atau kah dirinya masih terlalu berkecil hati akan kenyataan yang sudah ada dalam dirinya. Yerim tidak membenci Senara namun dia juga tidak menyukai Gadis ini datang dan bertingkah di hadapannya seperti sekarang.
Merasa tak ada jawaban dari Yerim, akhirnya Senara memulai pembicaraannya. “Apa kamu menyukai Hawon?”
Sebuah kalimat yang kembali membuat darah Yerim berdesir. Perasaan ini ternyata masih ada, pikirnya. Bahkan saat berulang kali dirinya terus mengelak untuk tidak peduli lagi pada Hawon, bahkan saat dirinya mulai mengacuhkan bagaimana pria itu sekarang. Mengapa hanya dengan pertanyaan pendek tadi begitu mendebarkan hatinya?
Yerim terdiam seraya menatap balik ke arah Senara. “Kupikir kamu yang suka padanya,” jawabnya.
Senara tersenyum setelah mendengar penuturan dari Yerim. Terselip rasa senang dalam hatinya oleh kalimat tadi.
Yerim menelisik ekspresi Senara yang kini tengah mengulas senyum padanya. Dia selalu berusaha menampik segala bayangan yang datang menghantui pikirannya setiap kali berpapasan dengan Senara. Bukan tanpa sebab, Gadis itu hanya ingin paling tidak sekali dalam hidupnya belajar caranya bersyukur.
Bukannya Yerim tidak pernah bersyukur atas hidupnya. Dia hanya tidak ingin merasa kecil saat melihat betapa beruntungnya hidup yang dimiliki orang lain. Betapa beruntungnya Gadis cantik seperti Senara bisa dengan mudah mengambil hati Hawon yang bahkan dirinya pun tak pernah bisa melakukannya.
Yerim hanya tidak ingin terus terhanyut dalam penderitaan sepihaknya ini, setiap kali membayangkannya dan terus berkata 'aku baik-baik saja' mungkin sudah lebih dari cukup agar hatinya tidak hancur lebih dalam lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreaming Of You [TERBIT] [End]
RomanceDi dunia ini, saat Yerim tidak lagi punya tujuan untuk bersandar. Sekalipun saat dia berkali-kali ingin menyerah dan juga merasa kesal secara bersamaan. Mengapa hanya dia? Mengapa rasa luar biasa ini membelenggu nalurinya. Saat rasa itu terpanggil d...