Chapter 19✔

247 47 12
                                    

Ketika aku tahu jika aku tidak akan pernah bisa menjadi cintamu. Setiap kali aku berpikir ulang bahwa terlalu jauh menggapaimu dengan tanganku. Rasanya seperti mendapat pukulan keras hingga membuatku sadar berkali-kali untuk berhenti mengharapkanmu.

Aku tidak percaya bisa bertahan dan berdiri sampai detik ini. Rasanya seperti baru kemarin aku merasakan getaran aneh dalam diri ini. Merasakan hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, perasaan gugup serta berdebar begitu berada di dekatnya, semua ini tidak cukup membuatku berhenti penasaran.

Hingga rasa keingintahuanku malah justru membawaku dalam kehidupan yang suram. Tanpa adanya kepastian, hati yang selalu lelah berharap dan berkali-kali berusaha menyakinkan jika rasanya ini akan indah pada akhirnya.

Sebuah harapan kecil namun mustahil untuk sekedar dihalusinasikan oleh otak yang selalu berpikir realistis.

“Serius kamu keluar?”

Hana berjalan menghampiri sahabatnya, Yerim dengan secangkir teh. Gadis itu nampak sedikit kaget begitu mendengar penuturan langsung dari Yerim, pasalnya beberapa hari lalu Yerim bahkan sempat bilang padanya tidak ingin mencampur aduk masalah perasaannya dengan aktivitas Sekolah.

“Mungkin aku memang harus benar-benar berhenti,” timpal Yerim.

Yerim tidak seperti biasanya dimata Hana. Menurutnya gadis yang kini tengah duduk bersamanya itu sudah tidak berbinar lagi ketika membahas topik yang sama. Yerim semakin murung, tentu saja membuat Hana tersenyum miris dibuatnya.

“Kamu yakin?” tanya Hana.

Yerim mendesah pelan. Setelah semua yang sudah dialaminya selama ini. Dia juga manusia, dia juga punya rasa lelah dan semuanya baru bisa ia putuskan sekarang. Meski pada dasarnya cinta ini ada begitu banyak harapan di dalamnya, Yerim juga sadar kalau cintanya tak akan pernah bisa dipaksa. “Hana, tolong berhenti terus berputar di topik ini.”

“Aku hanya ingin memastikan apa kamu benar yakin pada keputusanmu,” ujar Hana.

Yerim menoleh ke arah Hana dengan wajah kesal, “Kamu tidak percaya padaku? Aku ini sahabatmu.”

Hana terdiam begitu mendengar nada tidak mengenakkan keluar dari bibir Yerim. Dia hanya berusaha ingin memahami keadaan Yerim yang sekarang tidak benar-benar menjadi sosok yang dulu dirinya kenal. Yerim yang selalu bimbang setiap kali membuat keputusan, Yerim yang selalu kebingungan setiap kali diberi pilihan, kini semuanya terlihat begitu berbeda.

Hana tidak mempersalahkan hal itu. Mungkin ini yang disebut dengan siklus pendewasaan. Orang pada dasarnya memang sangat sulit untuk ditebak, seperti apa dia sebenarnya, bagaimana setiap kali pikirannya mencerna kalimat yang masuk, semuanya itu adalah hal yang mungkin tidak bisa dipaksakan oleh Hana.

Namun yang dirinya yakin sampai detik ini, Yerim adalah Yerim. Dan dia senang diberi kesempatan untuk mengenalnya sampai detik ini.

Yerim duduk terdiam menghadap ke arah jendela. Mengingat kejadian saat berada di tangga membuatnya menghela napas panjang, lagi-lagi dirinya benci pada sorot mata itu. Dia hanya tidak ingin mengistimewakan bagaimana setiap kali netra itu berfokus padanya. Yang dirinya ingat hanya satu, pria yang paling di sukainya tidak mungkin secara mengejutkan terlibat dalam problem keluarga-nya.

Hana menepuk pelan bahu Yerim seraya mengulurkan ponsel padanya. Yerim menoleh bingung, “Dari Wali Kelas kita,” seru Hana.

Yerim mengambil alih ponsel tersebut lantas bergegas pergi menemui beliau di ruang kerjanya. Dengan suasana kedai yang tidak begitu jauh dari pekarangan Sekolah ini, Hana hanya menatap diam kepergian sosok sahabatnya itu. Yerim sadar tidak lama lagi ujian nasional akan diselenggarakan. Sebelumnya juga dia sudah sempat menduga akan maksud tujuan dari sang guru. Gadis itu hanya mendesah pelan,

“Oh Yerim, kau sudah datang?”

Yerim membungkuk hormat begitu memasuki ruangan Wali Kelasnya. Ia hanya berkedip sembari menatap ke arah sang Guru berjenis kelamin Wanita itu.

“Kamu tahu Ujian Nasional tidak lama lagi?” tanyanya sekali lagi.

Yerim menunduk seraya menghela napas panjang. “Bisa beri saya waktu lagi Bu?”

“Yerim tetap saja aku butuh seorang Wali darimu,” tegasnya.

“Apa ada cara lain agar saya bisa masuk tahap ini tanpa wali?” tanya Yerim.

“Aku sudah cek Universitas yang ingin kamu tuju, tapi nilaimu akan ditahan sebelum ada kepastian Wali dari pihak keluargamu.”

“Saya tidak punya Orangtua, Anda sudah pasti tahu itu bukan,” jelas Yerim.

Guru Nana jelas merasa pusing akan jawaban yang dilontarkan oleh Yerim. Dia sebagai Guru pendidik dari Yerim hanya ingin totalitas saja menjalankan kewajibannya.

“Apa tidak bisa kalau saya saja yang mewakilkan, Bu?” tanya Yerim.

Guru Nana mendesah, sepertinya akan susah. Kalaupun bisa ya tentunya akan memakan waktu yang cukup lama. Setelah berbincang cukup lama akhirnya Yerim bergegas dari ruang tersebut. Bahkan hal semacam ini saja terasa sulit baginya.

Yerim sudah terlihat menyedihkan. Dia hanya tidak ingin terus membebani orang, bahkan dirinya juga tidak bisa menekankan rasa cintanya menjadi rasa benci pada orang seperti Hawon. Ia hanya tidak ingin hidup seperti itu, dirinya tidak ingin terus hidup dalam bayang-bayang kematian kedua orangtuanya.

Jika mencintai Hawon saja rasanya sudah sesakit ini, bahkan melelahkannya hidup selama ini menurut Yerim sudah lebih dari cukup. Mungkin Hana benar, Tidak semua orang benar-benar tidak peduli pada orang yang terlibat dengan Keluarga-nya.

“Choo Yerim.”

Dan orang itu mungkin saja menjadi sosok yang benar-benar Yerim pedulikan dalam hidupnya. Netranya menangkap sosok Hawob di kejauhan.

Hawon menatap Yerim. “A-aku..” ucapnya tersendat-sedat.

“Ada apa?”

“Aku minta maaf.”

“Sudah selesai?” tanya Yerim diluar prediksi Hawon tentunya.

Hawon terdiam. Yerim hanya berkedip menatap lawan bicaranya itu, “Kamu tidak perlu meminta maaf padaku karena sebagian dari ucapanmu kemarin memang benar.”

“Aku tidak bermaksud-“

“Hawon! Bisa beri aku waktu sendiri? Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu,” potong Yerim. Entah ini nyata atau memang sebuah keterpaksaan dari seorang Yerim yang berusaha mengikis perasaannya dengan mengabaikan sosok Hawon disana.

Yerim pergi dengan mantap bahkan tanpa pamit terlebih dahulu pada Pria itu. Ini tidak terlihat seperti Yerim yang sebelumnya begitu menaruh harapan besar pada Hawon.

Mungkin pepatah beberapa akan orang berkata, ‘jika ingin membuat seseorang sadar maka tamparlah orang itu dengan keras jangan setengah-setengah dan malah menganggapnya begitu sepele’.

TBC!!!

Meskipun sudah pernah terbit, kali ini aku coba untuk kembali publish secara terbuka untuk kalian semua.

Jangan lupa terus ikuti cerita ini, dan tinggalkan jejak kalian ya...

Dukungan dan komentar kalian sangat membantu kelancaran menulis selanjutnya&

Dreaming Of You [TERBIT] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang