Siapa yang bisa mengatakan dengan jelas sejak kapan kita mulai menyukai seseorang. Mungkin saat pertama kali pandanganku jatuh pada tatapannya, setiap kali melihat sorot tajamnya. Mungkin sejak itulah dalam hati kecilku ini mulai terusik untuk selangkah ingin bersamanya.
Tapi berencana melewati kehidupan yang menyedihkan sepanjang hidup bukanlah tujuan awalku. Aku hanya sedang terjebak. Terperangkap tanpa ingin mencari tau jalan keluar dari semua ini. Aku hanyalah gadis bodoh yang masih terlalu banyak menaruh harapan.
Setiap kali aku membuka mata, begitu banyak hari yang sudah aku lalui dengan perasaan hambar. Dalam setiap waktunya bahkan aku tidak pernah berhenti berharap, suruh dia untuk sadar sedikit saja. Suruh dia untuk menoleh sebentar saja dan memahami bagaimana rapuhnya hati ini setiap kali memandang ke arahnya.
“Aku harus bagaimana?” suara isakan kecil mulai terdengar seperti bisikan memilukan bagi Hawon. Melihat bagaimana Gadis dalam dekapannya itu tengah menangis tersedu. Gadis yang sudah lama mengenalnya sejak kecil, adalah Gadis yang selama ini kerap membuat dirinya merasa nyaman. Gadis yang bahkan secara terang-terangan mengecewakannya dengan kabar hubungannya dengan Pria lain, sekarang malah berlari ke dalam pelukannya.
Dari tempat lain, Yerim melihat semuanya. Jantungnya seakan meledak penuh dengan rasa sakit. Saat seperti ini saja dia malah tersenyum bodoh sembari menatap miris ke arah mereka berdua. Ia memejamkan kelopak matanya sejenak, andai saja di Dunia ini ada cara untuk menghapus rasa sakitnya setiap kali melihat Pria itu bersama dengan Gadis lain.
Andai saja hatinya tetap baik-baik saja setiap kali ada gadis yang menyebut namanya dengan lantang. Andai saja Yerim bisa menghapus seluruh memorinya tentang Hawon. Mungkinkah sekarang hidupnya akan baik-baik saja?
Sejak awal harusnya dia tidak berani melangkah sejauh ini. Melihat bagaimana Senara memeluk erat Hawon sudah lebih cukup menjelaskan bahwa dirinya tidaklah pantas untuk memimpikan Pria itu. Semua hanya angan, bahkan Yerim sudah berkali-kali bosan rasanya. Ia memutar langkah kakinya dengan pelan, berjalan memunggungi mereka seolah angin lewat yang tidak ada harganya sama sekali.
Yerim hanya tidak ingin dengan melihat kejadian ini malah semakin membebani hatinya, meski sehari saja dirinya ingin hidup tenang. Kakinya melangkah cepat melewati koridor yang kini mulai ramai dilewati siswa lain, dalam diam Yerim mulai mengepalkan kedua tangannya.
Bahkan saat dia tersenyum matanya selalu bergetar. Sampai langkah kakinya mulai terasa begitu berat untuk sekedar melangkah kembali, saat itu juga Yerim terjatuh ke lantai putih nan dingin. Dia bahkan tidak menghiraukan bagaimana cara siswa lain memandang aneh padanya.
“Yerim,”
Gadis itu menundukkan kepalanya, terisak dalam diam sesekali memukuli dadanya yang terasa begitu sesak. Separah inikah? Padahal dia bukanlah orang penting dalam hidupnya. Rambutnya yang tergerai menutupi hampir seluruh wajahnya, Yerim tak bergeming sedikitpun disana.
“Ada apa? Kamu sakit?” Nara mulai berjongkok menatap Yerim. Dia hanya merasa kaget begitu melihat sahabatnya terkulai lemas ditengah padatnya lorong Koridor. Tentu cemas bukan main dia.
Meski tanpa jawaban sedikitpun dari Yerim, Nara tetap menemani dan menenangkannya. Sudah seperti ini, bahkan dirinya masih tidak paham mengapa Yerim bisa sekacau ini dalam hidupnya. Meskipun ada banyak sekali pertanyaan yang hadir dalam benaknya tetap saja, Nara lebih mengutamakan privasi Yerim.
Saat-saat seperti ini bahkan membuat dirinya seolah seperti di-cap sebagai sahabat yang tidak becus menjaga orang terdekatnya. Mereka duduk di kursi besi, sudah tidak di lantai lagi. Bahkan setelah Yerim kini sudah menghentikan tangisnya dan terus menatap kosong ke depan. Nara masih enggan mengeluarkan suaranya, gadis itu hanya ingin sedikit memberi ruang untuk Yerim.
“Maaf membuatmu cemas melihatku begini,” ucap Yerim dengan tiba-tiba.
Nara menoleh menatap ke arah Yerim yang masih sama dalam posisinya, tidak tergerak sedikitpun. “Yerim, sebenarnya apa yang tidak kuketahui?” ia hanya bisa bertanya penuh kehati-hatian disana.
“Haruskah aku jelaskan padamu?”
“Kamu ada masalah?” tanya Nara.
“Penyebab kematian Ibu dan Ayahku, aku sudah mengetahuinya.”
“Apa?" Nara tentu merasa kaget, dia sempat menepuk pelan tangan Yerim sedikit menenangkan Gadis itu disana.
Yerim menolehkan pandangannya menatap nanar pada Nara, dengan kedua mata sembabnya kedua manik hitam itu bergetar kembali. “Hal yang lebih menyakitkan lagi semuanya malah terikat dengan laki-laki yang sudah lama aku suka.”
“A-apa?” ucap Nara tersendat.
“Aku tidak tau lagi bagaimana menata hatiku yang sudah hancur begini. Setiap kali melihat ke arahnya aku rasa sudah tidak sanggup,” lirih Yerim.
“Siapa Orang itu?”
Yerim terdiam, enggan menjawab pertanyaan yang keluar dari mulut Nara. Dia hanya tidak ingin menyebut nama Pria itu untuk hari ini saja. Pikirannya sudah kacau sejak kemarin.
Tau akan begitu jadinya, Nara mendekati Yerim dan memeluk hangat sahabatnya itu. “Aku tau semua ini pasti cukup berat bagimu, tapi dengan menangis di lantai Koridor bukan gayamu.”
TBC!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreaming Of You [TERBIT] [End]
RomansaDi dunia ini, saat Yerim tidak lagi punya tujuan untuk bersandar. Sekalipun saat dia berkali-kali ingin menyerah dan juga merasa kesal secara bersamaan. Mengapa hanya dia? Mengapa rasa luar biasa ini membelenggu nalurinya. Saat rasa itu terpanggil d...