Setelah hancur sendirian mungkin dia akan mengerti. Rasa ketidakmungkinan yang semestinya dimiliki. Hanya akan terus membawanya ke dalam kisah berduri.
Yerim duduk terdiam dalam sebuah ruangan, ia menatap kosong ke depan tepat dihadapan sesosok Wanita paruh baya yang sudah tidak asing lagi baginya. Saat-saat seperti ini untuk sekedar memakinya saja sudah percuma, orangtuanya sudah lama tiada.
“Jadi Anda menghubungiku hanya untuk ini?” tanya Yerim begitu saja.
Hati Yerim seakan beku. Dia duduk tegap dalam posisinya tanpa ber-ekspresi apapun dihadapan sosoknya. Rasa benci setiap kali mencoba memandang ke arah lawan bicaranya itu seakan meruntuhkan segala rasa dalam hatinya.
Mengapa harus Wanita ini? Mengapa saat dirinya mulai mengikhlaskan sebab kematian orangtuanya, semuanya malah jadi kacau dan semakin menghancurkan nya begini.
“Saya tidak paham bagaimana masalah anda dengan orangtuaku, saya juga tidak ingin mendengar seribu alasan dari Anda. Saya hanya ingin bertanya saja, siapa Anda? Berani merenggut kebahagiaan, kasih sayang yang seharusnya sudah di rasakan oleh Gadis menyedihkan ini! Pantaskah saya sebut Anda manusia?”
Kinan berkedip menatap lurus pada Yerim. Ia menatap lekat-lekat wajah Yerim penuh seksama, bibirnya, sifatnya bahkan semuanya terlalu sama dengan sosok lama yang sangat dia kenal. Hatinya tiba-tiba tergetar begitu mendengar setiap kata menohok yang keluar dari bibir Gadis kecil didepannya itu.
Disisi lain, Yerim sudah lelah. Bahkan lebih-lebih lelah rasanya saat ini. Dia memilih pergi meninggalkan Wanita tadi sendirian dalam duduknya, tanpa berpikir panjang dirinya bahkan dengan berani bersikap tidak sopan pada sosoknya.
Yerim sedikit pun tidak ingin lagi menatap sosoknya, tapi kenapa? Mengapa sosok itu harus orang terdekat Hawon? Tangannya meremas amplop cokelat yang sejak tadi sudah ada dalam genggamannya. Mengetahui betapa rumit kisah orangtuanya dengan Wanita tadi sudah cukup membuat hatinya hancur.
“Choo Yerim,” Kinan datang dengan berjalan cepat seraya menarik pelan lengannya. Maniknya terlihat berkaca-kaca begitu pandangan mereka bertemu. “Kamu pantas menghukumku.”
Wanita itu menundukkan kepalanya sejenak. “Aku terlalu bodoh sampai berpikir bisa kembali memiliki Ayahmu, aku menyesal dengan segala perbuatanku dimasa lalu tapi dengan tidak tau diri aku malah pergi berlindung dibelakang ayahku. Yerim, aku menyesal karena kefatalan masa laluku ini malah membuat beberapa orang menanggung pahit atas kesalahanku.”
Yerim mengepalkan kuat kedua tangannya begitu menangkap setiap kata dari Wanita berumur itu. “Kenapa baru sekarang? Pantas dihukum kata Anda? Bagaimana saya bisa menghukum Anda saat hati saya sudah sehancur ini?”
“Maafkan aku,” sesal Kinan. Entah keberanian apa yang membuatnya datang mengaku kehadapan Yerim. Rasa yang terus menghantui Wanita itu bertahun-tahun lamanya. Rasa ketakutan yang membuatnya selalu dihantui rasa gelisah ini bahkan dirinya sendiri belum juga menemukan ujungnya. Rasa yang bahkan membuatnya berkali-kali lipat di benci oleh Putranya sendiri.
Yerim melepaskan genggaman tangan Wanita paruh baya didepannya itu- Kinan. “Saya tidak bisa menghukum Anda dengan membalas dendam yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan saya. Tapi maaf, rasa bersalah Anda tidak cukup untuk mengembalikan kedua orangtua saya.”
Walau berat rasanya, walau bahkan Yerim sudah tidak ingin lagi membuka luka lamanya yang sudah mengering. Mengingat setiap kali hal yang terjadi dalam hidupnya rasanya sudah cukup. Dia tidak ingin mempersulit segalanya. Dia hanya ingin hidup damai, hidup bahagia layaknya orang normal seperti apa yang dirasakan orang lain.
Tapi setiap kali melihat wanita itu, pikirannya selalu saja terfokus pada Hawon. Bahkan Yerim benci dirinya sendiri karena tidak bisa sedetikpun berhenti memikirkan Pria itu. Sudah berulangkali dirinya seakan tertampar oleh kenyataan yang cukup menyakitkan.
Menyukai satu Pria selama hidupnya saja sudah semenyakitkan ini dan sekarang malah datang luka baru yang bahkan melengkapi kehancurannya. Yerim tidak tau bagaimana lagi dirinya harus bersikap.
Mungkin dirinya yang terlalu mudah menaruh hati. Dirinya yang juga segampang itu untuk jatuh hati. Bahkan tanpa berpikir semuanya hanya menorehkan luka dalam uluh hati. Semuanya bahkan berjalan seperti ilusi, rasa sakitnya bahkan terasa dalam mimpi.
Yerim menghentikan langkah kakinya begitu menyadari sosok lain kini tengah berdiri tak jauh dihadapannya. Walau dirinya ingin sekali berpura-pura tidak menatap dan memilih berbelok arah menjauh darinya, sebanyak apapun usahanya namun percuma. Hatinya terlalu lemah, bahkan setiap kali menatap manik hitam miliknya sudah membuatnya mati rasa.
“Kamu menemui Ibuku?” tanya Hawon dengan mimik wajah seriusnya.
“Bukan urusanmu,” singkat Yerim.
“Apa yang dia katakan padamu?” tanya Hawon sekali lagi.
Yerim terdiam. Haruskah dia berbicara lebih pada Hawon disaat hatinya sedang tidak baik-baik saja?
“Maaf, aku sibuk,” ucap Yerim hendak berjalan melewati Hawon namun pergelangan tangannya tertahan. “Bisa tidak sekali saja kamu jauh dari pikiranku! Aku lelah, tolong biarkan aku pergi.”
Hawo menatap Yerim dalam diam. Bahkan untuk sekali menatapnya saja Yerim serasa lelah, saat ini dia begitu frustasi dihadapan Hawon. Pria tidak punya hati ini bahkan sejak dulu pun tak pernah dengan benar menatap kearahnya.
Mungkin Yerim sudah semestinya pergi, melupakan segala harapannya yang sudah terkubur dalam jauh dalam hatinya. Mungkin rasa sakit yang ia dapatkan selama ini sudah lebih cukup mendewasakannya. Kata orang, bahagia tidak harus mengulang dengan orang yang sama bukan? Entahlah dia tidak merasa begitu.
“Apa yang kamu dengar darinya?” tanya Hawon.
Yerim tidak menjawab. Hawon selalu saja begini, dia hanya tidak ingin jatuh terlalu dalam lagi pada harapannya sendiri. “Apa yang aku dengar dari wanita itu anggap saja semuanya tidak ada hubungannya denganmu,” ucap Yerim pada akhirnya.
Hanya cukup sampai disini Yerim memutuskan. Yerim mendongak mengadahkan kepalanya sembari menatap lekat pada wajah Hawon. Seolah mengabari Pria itu untuk terakhir kalinya rasa ini ada sebelum berpamitan hingga tak ada lagi satupun rasa sakit yang ditanggungnya kembali.
“Bersikap acuh saja, bukankah itu dirimu? Jangan sesekali bersikap baik lagi padaku, kamu selalu saja membuatku salah paham karena itu.” Kali ini Yerim benar-benar pergi meninggalkan Hawon sendirian. Berjalan memunggungi Pria itu tanpa menoleh sekalipun, dalam diam bahunya kembali bergetar.
Seakan-akan bertemu untuk menyampaikan sorot rasa suka untuk terakhir kalinya terdengar begitu tragis. Meski sebenarnya tidak ingin, meski sebenarnya Yerim terpaksa mencoba menggarisbawahi semua ini.
Rasa lelah yang sudah di jalani nya mungkin sudah cukup, mengucapkan selamat tinggal pada harapannya sejauh ini. Tanpa sadar air mata Yerim kembali terjatuh,
“Aku berharap suatu hari nanti kau juga akan menangis karenaku,” bisik Yerim dalam hati.
TBC!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreaming Of You [TERBIT] [End]
RomanceDi dunia ini, saat Yerim tidak lagi punya tujuan untuk bersandar. Sekalipun saat dia berkali-kali ingin menyerah dan juga merasa kesal secara bersamaan. Mengapa hanya dia? Mengapa rasa luar biasa ini membelenggu nalurinya. Saat rasa itu terpanggil d...