Hawon berdiri terdiam menghadap ke hamparan pemandangan rumah-nya. Tidak seperti biasanya, saat ini pikirannya terlihat begitu kacau. Ia hanya merasa sesuatu aneh sedang menghantui pikirannya saat ini.
Caranya melihat, caranya memandang ke sekitar mungkin sangat mengganggu. Setiap potongan kalimat Yerim muncul dalam benaknya. Untuk sejenak kedua matanya terpejam berusaha kembali menetralkan pikirannya.
Setiap momen yang telah direkam otaknya saat berada di dekat Gadis itu, Hawon ingat semuanya. Bagaimana cara Gadis itu memandangnya,
“Kamu disini?”
“Jangan bicara lagi denganku,” ketus Hawon tanpa menoleh memandang pada siapa yang mengajaknya berbicara.
“Kamu yang melepaskan Gadis kecil itu bukan? Kenapa kamu memberitahunya!” Wanita itu- Kinan terlihat begitu marah memandang ke arah Hawon. Dalam sorot matanya jelas sekali menunjukkan bahwa dirinya menyimpan begitu banyak dendam.
“Hanya karena orang yang tidak pernah bisa kamu miliki, harus berapa banyak korban lagi?” ucap Hawon pada akhirnya.
Mata Kinan memerah. Bahkan dirinya sudah mulai muak setiap kali mendengar kalimat itu berulang kali. Hatinya seperti tersayat begitu dalam, setiap mengingat tragedi masalalu-nya. “Kamu tau apa?”
Hawon berdengus kesal dan mulai berbalik menatap Wanita yang harusnya sudah lama ia panggil dengan sebutan Ibu. “Membiarkan orang tidak bersalah ikut terseret dalam kebencianmu, apa penderitaan yang selama ini dia rasakan masih belum cukup?”
Kinan ambruk begitu saja terjatuh di atas Lantai yang dinginnya hampir menusuk kulit kaki. Wanita itu tiba-tiba menangis dengan tersedu dihadapan Hawon. Bukan merasa bersalah karena telah merenggut kasih sayang yang seharusnya sudah lama mereka rasakan dari dulu. Hanya karena hati yang telah dibutakan oleh ambisi dan membuatnya berubah menjadi orang asing.
“Bisa kamu berhenti? Menyerah saja.” Hawon mengatakan semuanya tanpa menyelipkan kata formal sedikitpun pada Wanita paruh baya didepannya itu. Tentunya tak ada sedikitpun belas kasih dalam setiap perkataannya. Dingin, kejam, dan acuh seperti biasanya.
“Aku tidak bisa,” gumam Kinan.
Prang!!
Hawon memukul kaca jendela di depannya dengan keras. “Dia sudah banyak tersiksa karenaku, apa masih belum cukup?” teriaknya. Untuk pertama kalinya Kinan melihat begitu marahnya Hawon saat ini.
“Begitu? Lalu kamu bahagia melihatku terus begini Hawon?” tanya Kinan.
Hawon memalingkan kepalanya menatap ke arah lain. Hal rumit yang di jalaninya ini sungguh sangat memuakkan. “Sadarlah, berhenti terus terlihat menyedihkan di depan semua orang,” cercarnya.
“Apa kalimat ini pantas kamu ucapkan, Hawon?!” Kakek Ji datang.
Hawon duduk menyamakan tingginya dengan Kinan, memaksa Wanita itu untuk kembali berdiri tegap tanpa menghiraukan ucapan Kakek Ji. “Berhenti berpura-pura seakan tidak ada hari lain lagi. Kalaupun sudah dipikir berulang kali, kamu memang pantas menerimanya.” sarkas Hawon pada Kinan, Wanita yang katanya adalah Ibu baginya.
“Kim Hawon!!” teriak Kakek Ji.
“Apa kalian juga tidak pernah memikirkan bagaimana aku huh!” Hawon menatap nyalang pada kedua sosok didepannya. Memang sudah sejak lama hubungan mereka selalu tidak baik-baik saja. “Kakek tidak perlu lagi repot-repot melindungi Wanita yang tidak pernah melahirkanku ini,” lanjutnya kemudian berlalu pergi dari sana.
__
“Jadi bagaimana?” Hana memandangi Yerim yang sejak tadi hanya terdiam tidak seperti biasanya. Ia merasa sedih begitu mendengar setiap kata yang keluar dari bibir temannya itu.
“Apa aku terlihat seperti orang yang gampang diajak main-main Hana?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Yerim.
Saat ini hanya Hana orang yang bisa Yerim tuju karena dirinya tidak mungkin datang pada Nara disaat Gadis itu belum mengetahui kisahnya.
“Aku hanya kaget saja,” imbuh Hana.
Kenyataan pahit lain yang mesti Yerim terima. Mengapa hidupnya selalu saja diliputi awan mendung? Mengapa tak ada sedikitpun cahaya terang datang menghampirinya. Mengapa hanya dirinya saja.
“Sekarang kamu bagaimana?” tanya Hana.
Mengingat bagaimana perasaan sepihak Yerim selama ini terhadap Hawon, sungguh membuat hatinya menjadi lebih gelisah. Yerim tidak bisa dengan mudahnya menghapus semua rasa yang sudah terlanjur ada begitu lamanya.
“Aku tidak tau,” jawab Yerim.
Hana mengusap kasar wajahnya dan kembali menatap Yerim dengan kesal, “Mana ada orang yang mau berurusan dengan seseorang yang ada hubungannya dengan kematian keluarganya! Kamu bodoh atau apa?” serunya dengan nada kesal.
Yerim terdiam. Ucapan Hana memang benar, di Dunia ini kemungkinannya hanya 10%. Mungkin terdengar akan sangat sulit baginya. Bahkan jika orang itu adalah Hawon sekalipun bahkan sedikitpun dia tak bisa bergeming.
“Kamu menyatakan perasaanmu padanya?” tanya Hana sekali lagi.
Tak ada tanggapan sekalipun dari Yerim. Bahkan sejak hari kemarin saat Hawon tiba-tiba datang mengatakan hal yang sangat mengejutkan hatinya. Saat semua rahasianya kini diketahui olehnya, saat Pria itu dapat mengetahui dengan jelas bagaimana perasaannya. “Padahal saat itu dia juga sudah tau kalau aku menyukainya,” gumam Yerim.
Setiap rasa sakit yang harus dirinya telan begitu menoleh ke arah Hawon, sebanyak itu pula jawaban demi jawaban ia peroleh dari sebuah ekspresi tanpa suara.
Mengingat semua hal yang pernah di lakukannya dahulu, hari-hari kemarin saat dirinya membantu Yerim menyampaikan rasanya yang belum juga tersampaikan. Setelah melihat bagaimana frustasinya seorang Choo Yerim saat ini, cukup membuat Hana menyesal dalam beberapa hal.
“Bodoh,” ucap Hana.
Kadang Yerim bertanya-tanya mengapa dirinya sampai melangkah di titik ini. Mengapa dia berjuang mati-matian disaat orang yang disukainya terus menatap ke tempat lain. Mengapa hanya dia yang berperan sebagai tokoh melankolis seakan tak ada satupun lelaki di dunia ini selain-nya.
Ironisnya, sampai detik ini dia hanya mengenal satu cinta. Cinta yang memandangnya dari belakang.
TBC!!!
Vote komen jangan lupa ya. Mohon dimengerti cerita ini mengangkat alur sedikit monoton, mungkin.. Langsung baca aja siapa tau kisahnya mirip dengan kalian..See you next
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreaming Of You [TERBIT] [End]
RomansaDi dunia ini, saat Yerim tidak lagi punya tujuan untuk bersandar. Sekalipun saat dia berkali-kali ingin menyerah dan juga merasa kesal secara bersamaan. Mengapa hanya dia? Mengapa rasa luar biasa ini membelenggu nalurinya. Saat rasa itu terpanggil d...