3

1.4K 294 16
                                    

Belum bisa meraba, Dirandra masih fokus pada satu orang di rumah itu. Dirandra wanita pintar, menyusup adalah keahliannya, hanya saja saat ini belum waktunya wanita itu melakukan tugas inti. 

Kali ini Dirandra makan siang bersama pegawai. Tidak ada yang perlu dikagumi, karena disiplin ini diterapkan oleh seorang yang tidak manusiawi. Mereka hanya menjalankan tugas demi rupiah yang masuk ke rekening demi memberi makan keluarga di kampung. Tidak dengan Dirandra, wanita itu tidak akan lapar jika tidak menginjak kaki di lantai rumah ini.

Informasi yang diperolehnya memang sudah banyak namun belum cukup kuat, perlahan bukti itu akan terkumpul bila perlu Dirandra akan membuat Adam mengakui dengan mulutnya.

"Enggak ada yang ingin kamu katakan Di?" Dona menegur Dirandra yang sejak tadi diam. Mereka duduk di meja makan mengisi waktu istirahatnya.

"Tidak."

Selain pendiam, Dirandra juga minim ekspresi. Selama bekerja wanita itu tidak pernah tertawa. Dirandra hanya akan bertanya jika ada hal penting. Biasanya Dirandra bertanya pada bu Hamidah.

"Kalau begitu, aku akan bertanya." Dona tersenyum pada rekannya. "Kamu punya pacar?"

"Tidak," jawab Dirandra dengan jujur.

"Menyukai seseorang?"

Dirandra menggeleng. 

"Kamu tahu Di? Kamu cantik, benar tidak ada yang menyukaimu?"

"Aku berkata jujur."

Dona percaya raut Dirandra. Rekannya itu cantik tapi tidak menarik. Tidak ramah dan tidak tahu cara berkomunikasi. Padahal Dona tidak mengajaknya bergosip.

"Dirandra, tuan memanggilmu."

Dirandra mengangguk hormat pada bu Hamidah dan meninggalkan rekannya. 

"Aneh saja. Wanita, tapi enggak pandai bicara." Dona melihat Dirandra naik ke lantai dua di mana ruang kerja Adam Chandrakusuma berada.

"Karena baru mungkin," kata Melisa. Walaupun ia juga merasa aneh dengan Dirandra. 

Tiba di depan ruangan itu, Dirandra mengetuk pintu. Tidak lama suara Adam mempersilahkan wanita itu masuk. Ruang kedua setelah kamar Adam, Dirandra puas. Kesan baik ditampilkan, Dirandra menahan matanya agar tidak menyisir ruangan itu. Ketenangannya berhasil menyembunyikan debar murka yang mulai menguasainya.

"Anda memanggil saya Tuan?"

Memindai wanita di depannya, insting Adam mulai bekerja. Ada sesuatu tapi masih samar. Ada kecurigaan tapi masih terlalu dini untuk berpikir seperti itu.

"Saya membaca CV-mu."

Dirandra menunggu, apa yang akan dikatakan Adam.

"Kamu bisa mengakses komputer?"

"Tidak begitu mahir, Tuan."

Suara Dirandra, Adam menyukainya. Berisi dan diucapkan dengan tenang. Mungkin, Adam akan mengajak wanita itu bicara agar terus mendengar suaranya.

"Ke sini."

Dirandra mengangguk hormat dan tidak ragu saat mendekat sesuai perintah Adam.

Melihat layar komputer, Dirandra tahu apa yang harus dilakukannya. Namun ia menunggu perintah selanjutnya.

"Ini komputer lama, banyak file penting di sini." 

Adam mempercayakan benda ini padanya? "Anda ingin saya melakukannya sekarang?" tanya Dirandra dengan sopan.

"Saya akan sangat senang."

Dirandra tidak membawa flashdisk. "Baiklah. Saya izin dulu pada bu Hamidah."

"Saya bisa menghubunginya dari sini."

Dirandra tidak punya alasan lagi. "Terimakasih." ia akan bekerja, tapi hanya setengah saja. Ia akan menyelesaikan sisanya besok.

Adam mengambil sebuah bangku dan menyuruh Dirandra duduk. Dirandra tidak grogi karena ia menganggap laki-laki di sampingnya adalah binatang buas. Bagaimana kemanannya? Sebelum masuk ke rumah ini, wanita itu sudah memikirkan semua konsekuensinya.

"Dari mana kamu belajar komputer?"

"Dulu, tetangga saya membuka rental komputer."

"Dan kamu belajar di sana?"

Dirandra mengangguk. Adam melihat jari Dirandra. Lentik dan terawat tidak seperti pembantu lainnya. 

"Dulu kamu bekerja di mana?"

"Rumah sakit."

Tahu Adam memperhatikannya, Dirandra melanjutkan. "Gaji juru masak tidak cukup untuk orang boros seperti saya."

Adam mengangguk. "Bekerja sejak kapan?"

Mata Dirandra tidak teralihkan dari layar komputer. Ia mereset ulang kode sesuai perintah Adam.

"Sejak orang tua saya meninggal."

"Maaf." Adam merasa tidak enak.

Hening, hanya suara keyboard yang terdengar. Walaupun mengenakan seragam pembantu, Dirandra terlihat berwibawa dan terkesan berkelas. Adam pandai menilai, dan entah kenapa ia tertarik untuk menilai wanita itu.

"Apakah ini membantu?" Dirandra memperlihatkan hasil kerjanya, tidak semua karena Dirandra butuh file-file itu.

"Wow. Kamu berbakat."

Saat Adam menatap kagum pada hasil kerja Dirandra, wanita itu menatap penuh dendam padanya.




Pesona Yang Ternoda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang