8

1.5K 276 25
                                    

Persiapannya sudah matang, Dirandra akan melakukan apapun demi bisa keluar masuk dari ruang kerja ke kamar laki-laki itu. Sekalipun Dirandra harus menjual harga dirinya demi menggenggam sebuah bukti.

Sejauh ini masih aman terkendali, posisi penting yang diberikan padanya memudahkan rencana perlahan Dirandra mulai mencari akses yang dianggap rahasia.

"Kita jarang bertemu Di." Dona menyapa Dirandra. Sejak Dirandra menjadi asisten Adam, tidak pernah mereka melihat Dirandra mondar-mandir di dapur. Dirandra juga tidak pernah lagi ikut senam pagi bersama pegawai lain. 

"Kita sama-sama sibuk." Dirandra tidak berbasa-basi, bukankah mereka memang sangat sibuk? 

"Akhirnya kamu resmi tinggal di sini, kami sering berkumpul satu jam sebelum tidur. Apakah kamu tertarik?"

"Saya akan mengabari jika ada waktu luang."

"Baik. Saya menunggu kabar baik Di."

Dirandra mengangguk. Ia pergi ke dapur untuk menyerahkan racikan kopi baru dari Adam Chandrakusuma kepada kepala koki. Setelah pamit wanita itu kembali ke ruang kerja Adam dengan secangkir kopi.

Mulai sarapan hingga makan malam, Dirandra bersama Adam. 

"Kamu sengaja berlama-lama?"

"Saya bertemu salah satu pegawai." Dirandra meletakkan kopi sesuai pesanan laki-laki itu. Kopi kental dengan setengah sendok krim.

Tatapan Adam, Dirandra mengacuhkannya. Jika ada nilai seratus maka laki-laki itu baru jatuh pada angka lima puluh. Dirandra harus berusaha lebih keras untuk memaksimalkan laki-laki itu jatuh pada kedalaman pesona hingga tidak bisa bangkit lagi.

"Ini yang kamu minta?"

Dirandra melihat dokumen di tangan Adam. Sikapnya cukup tenang walaupun melihat betapa kusam map dokumen itu. Bukan karena sudah lama tapi Dirandra yakin dokumen itu disimpan di suatu tempat yang tak bisa dijangkau oleh orang awam.

"Bukan yang saya butuhkan." Dirandra mengatakan dengan tenang. "Anda yang meminta saya melihat detail villa itu."

Adam tersenyum. "Berarti tidak apa jika kamu tidak memegangnya saat ini?"

Dirandra mengendikkan bahunya. "Sore ini apakah bisa kita selesaikan lebih awal?"

"Ingin ke kamarku?" dengan tegas Adam menyuruh Dirandra membuka satu kancing kemeja, ia ingin bicara santai walaupun sedang bekerja.

Dirandra tidak melakukannya. "Malam ini saya ingin bergabung dengan pegawai anda."

"Prioritasmu hanya saya. Kamu lupa?"

Tidak. "Saya menyampaikan bukan memaksa."  wanita itu mengambil dokumen di tangan Adam. Karena pekerjaan tak akan selesai sore ini lebih baik Dirandra melanjutkan misinya.

"Bagaimana jika menghabiskan waktu di ruang kerja saya?" Adam menatap wanita itu. 

"Terserah anda. Semakin saya bekerja, maka akan selesai dengan segera."

Dan Adam tidak menginginkan itu. Jika perlu detail villa itu dibaca saja, tahun depan atau sepuluh tahun lagi ditangani.

Aroma batu-bata, Dirandra bisa menciumnya. Tapi di mana batu-bata? Dirandra tidak melihatnya, mungkin ia harus mencari tahu letak batu-bata di rumah ini.

"Kamu sengaja mengacuhkan saya?"

"Anda meminta saya tidak keluar dari ruangan ini, apakah saya harus menatap anda sepanjang sore ini?"

"Buka saja kancing kemejamu." Adam mengulang perintahnya.

Dirandra membuka dokumen tersebut, melihat lembaran pertama. Kata yang mudah dipahami. Di mana letaknya, apakah masih jauh halamannya?

Dirandra tidak merasa terganggu saat Adam terus berbicara. Dengan tenang ia membaca lembar selanjutnya dokumen tersebut. Villa yang ada dalam flashdisk, Denada pernah ke sana.

"Kita akan bicara sebagai dua orang dewasa, bagaimana menurutmu?"

"Saya akan mendengarnya." Dirandra tidak menemukan nomor kamar, tapi gambar dalam dokumen itu mengingatkannya pada foto Denada.

Kapan terakhir kali Adam berkunjung ke sana? Jika tiba-tiba mengajak laki-laki itu apakah tidak akan mencurigakan?

"Apakah perlu sebuah komitmen untuk bercinta?"

"Tergantung."

Adam menyukai jawaban Dirandra.

"Kamu tidak terbuka, tapi saya melihat lampu hijau."

Dirandra menatap Adam yang duduk di hadapannya. "Apakah tidak membosankan bagi anda melihat tempat ini dari matahari terbit hingga larut malam?"

"Kamu membuat kode?"

Dirandra tidak mengelak tidak juga membenarkan. Dia bertanya dengan wajah serius.

"Melihat rincian villa ini, sepertinya unik."

Adam tersenyum lebar. "Di sana sepi. Pilihan bagus karena tidak akan ada orang yang mendengarmu ketika kamu berteriak menyebut namaku."

Bulu kuduk Dirandra berdiri. Bukan takut tapi membayangkan siksaan Denada saat meminta tolong pada Adam, hilangkan nurani manusia itu sampai sanggup melihat Denada kesakitan?

"Matamu menginginkannya."

Dirandra tidak tersenyum, semua yang dilihat oleh Adam adalah raut palsu. Apakah pisau cukur di saku celananya bisa memutuskan urat leher Adam Chandrakusuma?

"Kamu akan melakukannya, tapi tidak ingin di sini?"

"Saya akan masuk ke kamar anda, jika sudah menginginkannya. Malam ini saya belum siap." Dirandra masih menatap wajah laki-laki itu. "Saat saya masuk, pastikan anda tidak mengecewakan saya."

Dengan penuh percaya diri Adam membisikkan kode akses masuk ke kamarnya melalui ruang kerjanya. Dirandra menahan detak jantungnya. 

"Lebih aman dari sini. Pastikan, ini rahasia."

Dirandra memegang dua kunci, setelah ini apakah jalannya akan semakin lebih mudah?



Pesona Yang Ternoda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang