Menjadi bagian keluarga besar pegawai Adam Chandrakusuma berarti siap mengemban tanggungjawab penuh. Semua kegiatan di kediaman nan megah itu adalah privasi jadi hingga sampai saat ini belum ada kejadian apapun di sana.
Peraturan itu juga berlaku untuk Dirandra. Apalagi wanita itu bertugas di area penting. Pernah ketika pulang, seseorang mengikutinya untung ia segera sadar jadi melewatkan rumahnya untuk menghilangkan jejak.
Siang ini Dirandra berpura-pura tidak enak badan. Ia sudah tidur setengah jam di sofa sedangkan si tuan bekerja.
"Kamu mau menggodaku?" lirik mata Adam menggelisahkan, padahal Dirandra hanya berbaring seperti biasa.
"Begitu menurut anda?" gumaman Dirandra bisa didengar oleh Adam.
"Aku baru memulainya," desis Adam. Suara lelaki itu terdengar dekat. Ia baru masuk ke ruangan, layar monitor juga belum bekerja.
Dirandra mengangkat sedikit wajahnya. "Aku tidak sanggup duduk." suara yang tidak dibuat-buat tapi terdengar mendayu di telinga lelaki itu. Ketika kepalanya menyentuh sofa, kakak almarhumah Denada merasakan tubuhnya melayang.
"Di kamar, jangan di sini."
Dirandra mengerti. "Aku lemas." tidak merengek, tapi percayalah pertahanan Adam tidak kuat jika menyangkut wanita itu. Harusnya sudah cukup, bukan menjadi candu seperti sekarang. Ia sudah menikmati setiap inci tubuhnya.
"Kamu bisa istirahat setelah ini."
Inginnya tertawa dan mengutuk lelaki itu, namun senyum menggetarkan malah terbit dari bibirnya. Pesona yang begitu mendebarkan, Adam merasa gila karena asistennya. Pagi itu kembali panas, desah nikmat sungguh membuai cara Dirandra menyambut menggilakannya.
Pendingin ruangan tak berfungsi, keringat dua orang itu dibayar tunai dengan kepuasan. Tepatnya Adam yang dipuaskan oleh Dirandra sedang wanita itu menikmati dalam kesakitan. Seandainya bisa ia akan meraung, menuntut langit agar segera membayar apa yang dilakukannya hari ini.
Dua jam bergelut di ranjang yang sama, dengan terpaksa laki-laki itu harus menuntaskan karena ia harus pergi.
"Tetap di sini sampai aku kembali." dengan pakaian dalam Dirandra, lelaki itu mengusap keringat, tidak sempat membersihkan diri dikarenakan waktu memburunya.
Tatapan mengerikan kembali, begitu Adam keluar dari kamar. Menunggu sejenak, sebelum melakukan aksinya. Setelah memastikan tuannya pergi Dirandra bergegas mengenakan pakaian.
Tujuan utama adalah lemari, sidik jari tertempel dengan jelas. Menekan delapan angka pintu lemari terbuka. Dirandra punya waktu dua jam sebelum Adam kembali. Ia harus mengetahui isi lemari itu, kameranya siap merekam semua.
Tangis tak terbendung kala menemukan sebuah gaun milik Denada. Gaun itu hadiah ulang tahun darinya, dan benda itu ada di sini. Melipat kembali, ia menciumnya. Sungguh rindu pada sang adik.
Tekad Dirandra semakin kuat, setelah melihat benda milik adiknya. Kenapa lemari besar itu? Karena selama Dirandra keluar masuk ke kamar ini tak sekalipun Adam menyentuh lemari tersebut hingga wanita itu berani menyadap finger print.
******
"Di, mau makan?"
Dirandra mengangguk.
"Kamu sakit?" tanya bu Hamidah lagi.
Dirandra melihat wanita itu, salah satu orang yang paling lama juga sangat dipercaya di sini adalah beliau. Mungkin kah beliau juga tahu apa.yang terjadi di sini?
"Cuma tidak enak badan, Bu." duduk di bangku kayu, hanya mengenakan rok tanpa celana dalam cukup dingin.
"Matamu bengkak, Suni berikan Dirandra air hangat." apa perasaan bu Hamidah saja, tapi aura Dirandra seperti berbeda. Tidak mungkin, kalau sudah menikah, wanita itu pasti mengundang mereka.
"Kenapa tidak minta cuti, Di? Kamu terlihat buruk."
Dirandra memaksakan senyumnya. "Akan kupikirkan, Bu."
Bu Hamidah meninggalkan Dirandra ketika Suni datang. Wanita itu tidak tahu jika sekretaris Adam melihatnya dengan tajam.
"Terimakasih." Dirandra meneguk air hangat yang diberikan oleh Suni, tapi hatinya belum baik-baik saja.
"Kamu flu ya, mata sampai berair."
Tak ada jawaban lain, Dirandra mengangguk.
"Pasti pekerjaanmu berat, tapi kamu hebat bisa jadi orang kepercayaan tuan."
"Aku juga pegawai, Suni." karena Dirandra jijik setiap mendengar pegawai di sini mengelukan Adam Chandrakusuma. Ia tidak sabar ingin memberitahu mereka betapa bejatnya lelaki itu.
"Mona sering mengatakan, kamu hebat. Kami merasa iri, tapi senang memiliki teman pintar sepertimu."
Di depannya Suni, tapi pikiran Dirandra pada gaun juga bukti kedekatan adiknya dengan pemilik gedung ini. Dan bukti itu sudah dikirimkan pada seseorang.
Sementara saat Suni terus bicara, Dirandra hanya menanggapi dengan gumaman yang tidak jelas selebihnya ia tersenyum.
Entah kenapa, ia merasa berat kembali ke ruangan atau kamar itu. Dirandra sedang marah, ingin menghancurkan Adam tapi buktinya belum terkumpul semua. Ada sebuah rekaman yang harus ditemukan sebelum memberontak.
"Katanya kamu mau makan, Di."
"Aku akan mengambil sendiri."
"Kalau turun cepat padahal bisa makan siang bersama kita." Suni mengikuti Dirandra, membantu wanita itu mengambil lauk.
"Kamu duduk saja, aku bisa sendiri." Dirandra tidak marah, ia tahu mereka diperintahkan oleh Adam untuk melayaninya karena saat ini dia salah satu orang penting di rumah tersebut.
Suni terkekeh dan kembali ke tempatnya.
"Kamu tidak mau makan lagi?" tanya Dirandra, wanita itu mulai menyuapkan nasi.
"Enggak, aku temani kamu saja."
Dirandra mengunyah bulir nasi dengan baik, yang dinikmati adalah skenario bukan lauk. Ia sedang menggebu, jika membubuhkan racun ke sarapan Adam bukankah terlalu cepat laki-laki itu menemui ajal-nya? Sedangkan Dirandra ingin menyiksa laki-laki itu hingga kedua anak Adam Chandrakusuma melihat karma yang begitu menyiksa atas perbuatan ayah mereka.
"Kenapa tidak menungguku di kamar?"
Di sana ada Suni, apakah wajar seorang tuan berbicara santai? Dirandra hanya mendengar tidak melihat wajah murka Adam Chandrakusuma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Yang Ternoda
Gizem / GerilimDia bukan wanita pemuja romansa. Karena cinta bukan anugrah, tapi malapetaka, itu menurutnya. kematian adiknya, menyisakan misteri. Secara sadar, ia masuk dalam kehidupan yang penuh marabahaya demi mengungkapkan kasus kematian sang adik. Ia tidak ta...