Dingin udara sisa hujan seharian masih terasa menusuk tulang. Wangi petrichor menguar nyaman ke setiap indera penciuman. Pekat melam mengiring langkah New dan Ohm melewati gang demi gang menuju hunian sewaan yang beberapa bulan ini Ohm tempati.
Cklek ..
Tanpa bersusah payah dengan anak kunci, Ohm membuka pintunya begitu saja. Karena demi Tuhan, tak ada satupun barang berharga di flat murahnya ini yang perlu ia jaga.
Memimpin langkah di depan, Ohm berhenti untuk berbalik menoleh ke arah New. "Maaf, kalau anda....."
"Panggil Ibu saja. Kamu teman anakku kan?"
Ohm tersenyum canggung. Mengangguk meski dengan garukan di tengkuk menyadari ada tatap menggoda di kata teman yang New lontarkan.
Teman? Entah. Ohm bahkan tak mengerti di titik apa ia dan Nanon sekarang.
"Loh, udah pada pulang ternyata." Satu persona dari arah dapur menarik atensi Ohm dan New bersamaan.
Seorang pemuda jangkung dengan kaos merah kebesaran mendekat menebar senyuman.
"Lah, lu di sini First?" Heran Ohm tak menyadari kehadiran penolongnya tersebut.
First mengangguk. "Makanya punya pintu tuh dikunci. Untung gue yang masuk, bukan maling."
"Ck. Maling juga mau ambil apa sih? Cucian gue? Apa panci gosong gue?" Bukan bercanda, Ohm hanya bicara masalah fakta.
"Dasar, dikasih tau susah." Lalu beralih menatap New dengan senyum sopan. "Om, tadi aku bawain mie dari kedai buat makan malam, nanti dimakan ya? Ada di meja."
"Makasih banyak ya, Nak First. Maaf saya merepotkan." New kenal First tadi siang ngomong-ngomong. Pemuda itulah yang menjemput ia dan Ohm di stasiun.
"Nggak kok, Om. Saya seneng kalau bisa bantu kalian."
"Sekali lagi terima kasih banyak, Nak. Nak First, Nak Ohm, saya ke kamar dulu ya." Pamit New meninggalkan dua pemuda yang menatap sendu pada punggungnya.
Keduanya paham, meski mengumbar senyuman dan tatap menenangkan, namun jauh di dasar hati New tengah gelisah tak karuan. Hidupnya terlalu carut-marut melandai beban yang amat sulit ia tanggung.
"Gimana?" Satu kata dari First mewakili ribuan pertanyaan soal hasil yang hari ini Ohm dapatkan.
Keduanya berjalan ke arah meja makan, kemudian duduk meski tanpa menyentuh mie yang sudah First siapkan. Ohm meraih sebotol air minum di meja dan meminumnya langsung tanpa perlu gelas. Sedikit aliran air mungkin bisa menjernihkan otak penatnya.
Di hadapannya First menatap sabar. Memberi waktu bagi Ohm untuk memilih untaian kata yang akan ia ceritakan. Meski selalu berkata jika ia dan Nanon adalah teman, tapi First tak bodoh untuk paham jika itu tak lebih dari alasan.
Menilik perjuangan Ohm berbulan-bulan ini untuk sembuh adalah Nanon. Serta melakukan apapun demi membebaskan Nanon. Teman macam apa yang sejauh itu bertindak demikian?
Juga melihat raut New yang seolah lelah dengan keadaan, menanggung beban yang tak terkira nian. First jadi makin yakin, masalah antara Nanon, Ohm, Tuan Tay dan Om New tak segampang itu diselesaikan.
"Gue hampir gila, First." Satu kalimat tak disangka-sangka dari Ohm jadi pembuka jawaban.
"Hah? Maksud lu?"
Ohm menumpu kedua siku di meja, meraup wajahnya frustrasi. "Masih inget soal hubungan Nanon sama Tuan Tay sebenernya kan? Yang gue ceritain lewat chat semalem."
"A..anak sama bapak kandung kan?" Bagaimana First tak ingat, semalam hampir dini hari Ohm mengiriminya puluhan chat yang isinya teramat mengagetkan. Tak masuk akal, tapi kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CATASTROPHE
FanfictionTay Tawan tak pernah menyangka, jalang kecil yang disimpannya sebagai penghilang penat ternyata berpengaruh besar dalam kehancuran hidupnya. Warning : *Boys Love *BXB, BXG relationships *Mpreg *Sensitive issue *Don't like don't read (as simple as th...