Chapter 12

1.7K 221 49
                                    

Dinamika waktu bergerak lambat mengikuti setiap gerik yang dilakukan Nanon. Raganya hidup, namun hatinya mati. Menatap seorang diri realita pahit yang senantiasa sakit tak terperi.

Entah sudah berapa bulan berlalu semenjak ia kehilangan Ohm yang selalu jadi sandaran kala lelahnya. Belum ada setahun, namun lebih jika sekedar enam bulan. Nanon tak mengingat. Atau tak mau ingat lebih tepatnya.

Jika beberapa bulan lalu ia masih sedikit menyimpan optimis perihal Ohm yang mungkin saja masih hidup dan akan mencari jalan menemuinya lagi suatu waktu, namun kini keyakinannya rata tak bersisa. Habis dihempas kenyataan yang semakin lama semakin menghantam logika warasnya.

Atas desakan Tay beberapa waktu lalu Nanon mengajukan cuti untuk kuliahnya. Bagaimanapun perutnya mulai terlihat walau hanya dengan mata kasat. Dan hal itu pula-lah yang membuat harinya terasa makin kosong, sepi. Selain kehilangan Ohm dan kedatangan Tay yang semakin jarang.

Tapi Nanon menerima bayaran besar atas kesepian dan kesakitan yang ia derita. Si pemuda manis hidup terjamin. Barang apapun yang ia ingin akan dibelikan oleh sang Tuan. Begitu pula jatah bulanan yang selalu ia kirim pada sang Ibu bisa konsisten ia berikan, bahkan dengan nominal lebih karena Mild juga memberikan.

"Ini sup rumput laut, kata orang baik untuk bayi dalam kandungan. Makanlah, habiskan. Oh iya pakaianmu yang kotor di mana? Biar Marc bawa ke laundry sekalian ambil yang sudah bersih."

Nanon tersenyum kecut mendengar rentetan kalimat Mild. Wanita anggun itu sedang ada di apartment-nya bersama Marc ngomong-ngomong.

Selalu datang menjaga kesehatan Nanon dan sang bayi, memastikan Nanon tak melakukan pekerjaan berat serta memperhatikan si pemuda meskipun dengan sembunyi-sembunyi dari suaminya. Paling tidak Nanon bisa sedikit terhibur atas kecerewetan Mild yang mulai lunak padanya.

Mungkin faktor terbiasa juga, lama kelamaan Nanon mulai menganggap biasa sikap judes Mild. Meski judes, si wanita selalu menyelipkan perhatian padanya. Entah tulus entah hanya karena si bayi dalam kandungan.

"Paaianku ang kotooo dieanjaang semuwaa."

"Telan dulu makanamu, bocah. Baru bicara. Dasar jorok." Gemas Mild memukul kecil puncak kepala Nanon.

Si pemuda nampak menelan makanan yang penuh dalam mulutnya lalu meminum seteguk sebelum kemudian mengulang kalimatnya. "Pakaian kotorku di keranjang semua."

Marc yang juga mendengar penjelasan Nanon langsung menghampiri keranjang yang dimaksud dan memasukkan semua pakaian kotor Nanon dalam kantung besar.

"Saya bawa ke laundry dulu Nyonya." Pamitnya membawa pakaian kotor si Tuan Muda.

Mild mengangguk. "Nanti ke supermarket sekalian. Kulkas anak ini sudah habis semua isinya. Daftarnya aku chat saja."

"Baik, Nyonya. Permisi."

Mild menatap Nanon yang hanya mendengus setelah Marc meninggalkan keduanya.

Tunggu, kulkas.... Ah, Mild mengecek isi kulkas. Di sana kan.... -batin Nanon teringat sesuatu

"Kenapa? Kaget??" Desis Mild meletakkan sebuah kaleng berwarna hijau tepat di depan piring kosong Nanon.

Sedang Nanon yang baru saja melebarkan mata langsung menciut bingung mencari jawaban. Perutnya mendadak mulas saking gugupnya. Eh, atau memang kekenyangan saja?

"Sudah aku bilang jangan konsumsi macam-macam kan? Kenapa kamu keras kepala sih bocah?? Kamu nggak kasihan sama bayinya diguyur bir sama ibunya sendiri di dalem???" Nanon bersumpah Mild sedang dalam mode ibu tiri sekarang.

"Eh, anu.. bukan. Itu bukan punya aku kok." Alibi Nanon.

"Terus punya siapa?"

"Punya..... Mas Tay."

CATASTROPHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang