Chapter 9

1.8K 224 40
                                    

Siang tengah merangkak mesti sinar mentari tak mengiringi. Bukan mendung, hanya berebut ruang dengan awan berarak yang membuat cuaca menjadi nyaman.

"Tadi berangkat sama siapa?" Pertanyaan Chimon memecah atensi Nanon yang tengah menatap sang dosen di depan kelas, meski fokus sebenarnya bukan ke sana. Pikiran Nanon sedang melanglang ke mana-mana.

"Ojol." Singkat, tanpa merasa perlu menengok pada si penanya.

Chimon terlihat mengerut dahi. Menatap siluet Nanon dari samping kiri. "Kakak sepupu lu yang waktu itu udah balik ya?"

Ada sepersekian detik tubuh Nanon menegang. Beruntung ia langsung bisa menguasainya kembali. "Hm. Liat ke depan, profesor bisa marah kalau kita ketahuan ngobrol."

Chimon berdecak mendengar perintah Nanon. Sahabatnya itu belakangan ini jadi aneh menurutnya. Semakin jarang di kampus, sering skip kelas, diajak hangout-pun tak pernah bisa. Bahkan sampai sekarang Chimon belum tahu di mana alamat kost baru Nanon berada. Nanon yang dulu ia kenal sebagai pribadi yang tak terlalu terbuka kini semakin tertutup rapat.

Sedang Nanon yang katanya mau memperhatikan dosen mereka, nyatanya hanya sebatas gerakan mata semu. Otak dan segenap pikiran Nanon memutar satu persatu memori yang membuat hatinya meringis perih.

Ohm Pawat, satu nama yang selalu ia ingat dalam setiap ratap do'a. Ohm benar-benar menghilang dari kehidupan Nanon. Nomor telfon dan sosial media-pun tak ada yang bisa Nanon hubungi. Apa Tay Tawan benar-benar menghabisinya?

Beralih ke nama kedua, Tay Tawan, sang tuan. Meski hanya jalang yang dibeli Tay dari Aftermath, namun dulu perlakuan Tay begitu lembut padanya. Ingat kan, bahkan kelembutan dan after care yang Tay berikan sempat membuat Nanon ketagihan. Namun kini semuanya berubah total. Tay hanya akan datang sesekali, itupun dengan pandangan sinis dan emosi meluap. Dan setelah itu dia akan membobol Nanon habis sampai si manis tak punya daya.

Selanjutnya, Mild Wiraporn. Entah Nanon harus merasa beruntung atau malah semakin sial karena Mild mengetahui eksistensinya. Si wanita sosialita begitu sering datang ke apartment-nya (tanpa sepengetahuan Tay) hanya untuk sekedar bertanya, "Sudah jadi atau belum?"

Nanon mendengus tipis tanpa sadar. Ia terjebak dalam konflik rumah tangga yang intriknya penuh kepalsuan. Tak sang suami, tak jua sang istri. Di mata Nanon keduanya hanya manusia berpikiran picik yang menggerogoti kewarasannya.

Untungnya Mild kini bersedia memberikan Nanon jatah bulanan yang sudah tak bisa ia harapkan dari Tay Tawan. Sehingga dengan itu ia masih bisa mengirim uang pada Ibunya di kota asal sana. Dan itulah alasan Nanon bertahan. Uang, memang apa lagi?

"Ok guys, enough fot today. Jangan lupa kumpulkan tugasnya minggu depan. See you." Kalimat penutup dari sang dosen membuat semua mahasiswa di kelas Nanon bergegas membereskan barang-barangnya untuk kemudian berbondong keluar kelas.

"Kantin yuk, laper gue tadi cuma sarapan sereal." Ajak Chimon pada sahabatnya yang masih duduk.

Nanon menoleh. Dengan memegang sisi kepala ia bangkit menyelempang tas di pundak. "Nggak dulu deh, mau langsung balik aja kepala gue sakit."

"Kenapa nggak ke ruang kesehatan aja? Nanti masih ada kelas jam setengah dua kan?" Jujur saja Chimon khawatir.

Nanon menggeleng pelan. "Nggak, pengen tidur di rumah. Pusing banget gue. Tolong tipsen buat kelas nanti siang."

Berjalan pelan, Nanon meninggalkan Chimon yang menatap sendu. Nanon sepusing itu sepertinya. Dapat Chimon lihat area putih di mata jernihnya sudah memerah dan mulai tergenang basah. Nanon sakit.

Menggunakan taksi online, perjalanan ke apartment yang biasanya hanya butuh waktu sebentar jadi terasa sangat lama bagi Nanon karena ia sembari menahan sakit di kepala. Bukan sakit seperti biasa, kali ini kepala Nanon bagai dihantam beban puluhan ton dan rasa sakitnya terasa sampai tengkuk belakangnya.

CATASTROPHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang