09

95 5 0
                                    

"Hai, butuh bantuan apa?"

Briva rasanya ingin mengumpat saja secara verbal. Sok-sokan sekali dua lelaki ini. Kalau saja tidak ada Sha di sini, mungkin lelaki sok perhatian itu sudah dia tendang ke ujung dunia. 

Perawakan Yoga dan Favian sudah jelas dihadapan mereka berdua. Mereka tersenyum, meringis. Alasannya, karena tatapan Briva penuh indimidasi.

"Briv," tegur Sha tegas, "udah, kontrol emosi, mereka datang kok," Sha, berusaha menenangkan Briva. "Ya-- cuma telat sih, dikit, enggak banyak."

Briva memalingkan wajah, matanya malas menanggapi. Ini membuatnya muak.

"Sorry."

"Gue ada panggilan dari guru."

"Gue ada ulangan harian mendadak."

Dua lelaki populer itu menjawab cepat. Sha menghadap Briva, oke, mereka lupa. Sesama penerima apresiasi, mereka sibuk.

"Okay, gapapa, lain kali konfirmasi dulu, lima menit itu lumayan buat gue buat beli minum." Sha tersenyum, ia sama sekali tidak tertular emosionalnya Briva. Kuat, sungguh pengendalian yang hebat. 

Favian terdiam di tempat. Begitu jelinya kah, atas efeksiensi waktu? lima menit--butuh lari--antre dan bayar juga betuh usaha karena desak-desakkan. Lima menit, kayak limited kalau untuk ke kantin saja.

"Anjing, cepetan," Briva bertingkah gegabah, dia tidak sabar. 

"Oke-oke," Sha membuka tasnya, menarik ponsel lalu mencari bertia semalam. Alisnya nan cantik itu mengerut, tanpak serius. "Gue minta tolong sama lo buat selidiki ini," Sha menunjukkan foto berita--tentang anak SMA GAT Indonesia--penerima apresiasi, yang dikejar polisi.

Satu, dua detik Favian membeku. Ini situasi menyeramkan. 

Jangan sampai  keceplosan, kalau sebenarnya saudara kembarnya yang ditangkap, dan dia disini hanya sebagai--peran penganti. 

"Napa lo?" 

Nada suara Briva yang tinggi itu menyentak Favian. Favian kaget, untungnya bibirnya ia tahan, sedemikian rupa. Agar, tidak keceplosan macam-macam.

"Anehnya, kita masih lengkap-lengkap aja."

Semuanya terdiam beberapa detik, bukan kosong pikirannya--tapi mengacak otas sampai mereka merasa puas. Sistem yang ada di penerima apresiasi memang seperti itu, makannya, apresiasi jatuh ke tangan mereka.

Sial, ini semakin memutar otak. Favian terjebak, bingung, bagaimana harus bertindak.

"Gue juga sempat nonton TV, channelnya tiba-tiba hilang," Yoga buka suara. Lalu mendapat respon, tak percaya--kaget--tidak mungkin!

Favian melebarkan matanya, bahaya, dia dalam bahaya.

"Really?" sela Sha, cepat. Matanya membulat lebar, ternyata dirinya terlambat mengetahui.  "Menurut lo? ini karena ada problem di kita sendiri atau--polisinya yang salah?"

Yoga berpindah gaya duduk. "Lo pikir-pikir aja, kenapa kita masih lengkap di sini."

Sial, sial, Favian keringat dingin, tapi tetap dituntut profesional.

"Kalau menurut lo?"

Mata Sha beralih ke Favian. "Gue?"

Sha, Briva, Yoga mengangguk.

Mata Favian tak beraturan arahnya. Salah tingkah kini menerpanya

"Gue enggak tau," ucap Favian dibuat-buat santai.

"Oke, berarti kita belum tau jelas," simpul Sha. Tangannya, beralih pada ponsel. "Tapi ini real berita, bukan orang yang asal bikin web terus bikin berita hoax. Anehnya, kalau pakai location indonesia enggak bisa, pas pakai VPN amerika baru bisa mengakses."

Peran PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang