19

79 4 0
                                    


"Bagaimana, apakah bapak masih mencurigai saya sebagai pelakunya?"

Kembali lagi dengan ruangan ini. Ruangan paling dihindari oleh seluruh manusia di bumi, kecuali beberapa orang aneh, ataupun terpaksa karena tugas.

"Semua data-data mengarah ke anda," terlalu singkat, tidak efesien.

"Kenapa tidak lebih mendetail?" geram Farezi pada bapak-bapak berkumis tebal tak profesional itu. Gelagatnya memang seperti penjabat tinggi, tapi pekerjaanya membuat Farezi selalu merasa kesal. "Saksi belum dicari kan?" tantang Farezi tak takut. "Anda ingin saya seperti Michael Morton yang dipenjara begitu saja? saya kira polisi pilihan bangsa cerdas semua."

"Apalagi?" jawabnya sembari mengangkat alisnya seolah berlagak paling tau.  "Bualan penjahat memang selalu seperti itu, saya tidak akan bertindak untuk anda."

Farezi menghentakan kaki keras-keras. Air mata jatuh memanas. Rasanya ingin meremas wajah bapak-bapak itu dengan tanganya. 

"Saya bukan penjahat pak!" Emosi Farezi meledak-ledak.

"Saya tidak--" 

Ucapan bapak berkumis tebal itu dipotong Farezi

"Saya di sana karena mencari agar adik saya bisa  tetap hidup. Saya ingin memepertahankanya tanpa kehilangan satu sama lain!" Teriak Farezi emosional.

Sayangnya lelaki tua berkumis tebal tak profesional itu tidak ada rasa simpati. Hatinya sudah berubah menjadi batu hitam. Tak tersentuh, individualis.

"Kembalikan dia ke penjara," suruhnya tanpa berpikir panjang.

"Tapi Pak," elak bawahannya,karena waktu yang Farezi punya untuk berbicara masih ada sepuluh menit lagi. "Waktunya masih bany--"

"Turuti atau ...."

"Baik, Pak."

***

Briva melempar tasnya. Kelapanya masih memikirkan bagaimana Sha bisa tidur. Sedangkan rumahnya tidak aman untuk Sha tinggal. Namun pikiran itu pecah ketika Briva melihat amplop pink di atas meja Sha. Belum sempat Sha ambil, Briva sudah menariknya paksa.

"Anjir, surat apaan ini," reflek tangan Briva membolak-balik amplop ini.  "Lo dapat surat cinta lagi?"

"Jangan mikir yang gak-gak ya Briv," jawab Sha mengeleng. "Mana sini amplop gue!"

Tangan Sha berusaha mengapai amplop yang ada di tangan Briva namun selalu gagal. Briva tertawa mengejek, dia sungguh senang melihat wajah Sha yang kesal. 

"Briva lo jangan jahat gitu sama gue!" protes Sha tidak terima, tangannya masih saja berusaha untuk mengapai amplop mecolok itu. Rasa penasarannya tak jauh beda dengan Briva. Walaupun cukup sering mendapatkan amplop, surat ataupun hadiah, Sha selalu penasaran dengan isinya. Tipe-tipenya yang suka menghargai memang melekat dalam jiwanya

"Coba gue buka!" teriak Briva senang,  tangannya hendak membuka amplop itu sembari menampakkan wajah jahilnya pada Sha.

Sha kesal, "jangan coba-coba!" 

"Lo penasaran 'kan?" tanya Briva memancing setimen Sha. "Nah iya kan, jadi sini gue yang buka ya. Kan sama aja."

Sha menyerah, punya sahabat modelan Briva memang harus sabar. Ya setidaknya dia tidak mati penasaran. Jadi Sha mengangguk.

"Tapi jangan lo baca keras-keras," nada bicara Sha meninggi. "Kalau lo baca keras-keras gue gak mau temenan sama lo lagi!"

"Briva tertawa, "jangan emosi dong buk."

Peran PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang