10

92 4 0
                                    


Sha terduduk di depan pintu. Matanya tak menandakan sedang fokus, seperti sedang mengalihan sesuatu. Kini Sha terusik-- pikirannya. Kejadian baru-baru ini menambah rasa penasaran. Farezi, untuk pertama kali di matanya pingsan. Sha tau ini bukan kejadian yang biasa, Sha, takut. Entah takut kehilangan atau takut kehilangana gensi. 

Suara gesekkan kaki terdengar jelas. Tepat setelah beberapa menit, Sha membungkam bibirnya. Ini mengundang rasa kecurigaan pada benak Briva. "Sha," panggil Briva cekatan, "Lo kenapa?"

Nada bicara mengalihkan sentimen yang Sha miliki. Sha tersentak, menunduk sejenak, "iya?"


"Lo-- kenapa? terus tadi kenapa juga kelihatan paling panik."

Alih-alih menanyakan karena khawatir, Briva kesannya malah seperti orang kepo.  Sha menyesal, memiliki sahabat seperti ini. 

"Reflek," beruntung kata ini muncul dari bibirnya. Sha memutar matanya, ini membuatnya harus bersikap sabar. "Kalau lo yang pingsan, gue lebih panik, tenang aja."

Briva mengangguk,alisnya terangkat sebelah, bibirnya memiring. "Lo gak jatuh cinta 'kan?"

Tuh, 'kan, sudah Sha duga. Briva menyimpan rasa penasaran. Kalau saja Briva sampai tau kenyataanya, Sha ragu akan terjadi hal baik.

Sha memutar malas bola matanya, 'kan, mulai lagi. "Lo bisa gak, sehari aja gak curiga sama gue?" kesalnya menjadi-jadi. Sha jadi kurang leluasa mengekspresikan rasanya kalau Briva menyimpan rasa curiga padanya. "Cuma rasa kemanusiaan aja kok, gak lebih."

"Gak bisa, Sha sayang, gue kan emang curigaa," alasan Briva menjadi-jadi. Ini buat Sha semakin muak.

Sha cemberut. "Briva, percaya sama gue dong." Sha merenggek, ini menganggunya.

"Males percaya sama lo," Briva mengelak. "Lo nya aja sering boong sama gue."

Sha melompat, sejak kapan dia berbohong dengan Briva. Bukannya, persahabatan mereka trasparan apa adanya. "Heh, mana ada, itu lo kalik!"

Briva menjulurkan lidahnya. "Yeee, ga sadar diri emang, ini anak orang."

"Lo juga, ngaca makanya," elak Sha. 

Parahnya rurangan ini kini menjadi tempat kompetisi debat. Situasi memanas tapi keduanya tidak menyadari. Keduanya beradu mulut. Mereka begitu asyik mengutaran pendapat yang berlawanan.

Briva tidak mau ngalah dan Sha tidak mau Briva tau kenyataanya, kalau dirinya-- jatuh cinta pada, Farezi.

Salah.

Favian yang menjadi Farezi.

Mata Favian yang teduh itu memikat hati Sha. Ketika pertama kali berjumpa. Saat Briva memaksanya untuk melaksanakan dare. Memang saat itu terpaksa, namun kini tatapannya menjadi candu.

Sha rasa, Farezi yang ia kenal beda dengan Favian. Walupun kenyataanya Sha hanya tau keduanya sama. Ini amat disayangkan, cinta mereka dibatasi oleh sebuah peran yang harus dibungkam.

Briva, mengelak opini Sha, kepalanya mengeleng tak percaya. "Jangan bilang kalau lo--"

Brakkk

Briva terperanjat, "Anjing!" sumpah serapah muncul seketika. Briva emosi pada sang pembuka pintu. Namun ketika mengetahui yang membuka pintu adalah bos kontrakan rumah yang Sha tingali, Briva membungkam bibirnya, rasa malu menyelimuti tubuhnya.

"Sudah tanggal berapa ini Sha?" sang pembuka pintu--bos kontrakan itu bersuara Suaranya lembut, tidak kasar. Intinya tidak sekejam sinetron atau film. "Ibu sudah toleransi kamu sampai tiga bulan."

Peran PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang